Kesetaraan: Dialog dengan Guru Besar
Beberapa waktu belakang ini, penulis baru saja menghadiri diskusi visiting professor yang dihadiri oleh seorang guru besar dari salah satu universitas Islam negeri di Yogyakarta. Materi yang disampaikan dalam acara itu awalnya nampak wajar saja, namun hal itu berubah ketika corak equality mulai tercium samar-samar di dalamnya.
Corak-corak aroma equality itu telah nampak ketika pemateri pada awal bahasannya memberikan saran kepada fungsionaris prodi yang bersangkutan untuk memasukkan instrumen berbasis jenis kelamin sebagai salah satu indikator penilaian penerimaan mahasiswa baru ke depannya.
Masukan ini diberikan oleh pemateri karena dilatarbelakangi jumlah mahasiswa dan mahasiswa yang sangat jauh perbedaanya. Di sinilah pemateri menyarankan instrumen gender sebagai salah satu instrumen penting yang harus diadopsi dalam proses penerimaan mahasiswa baru.
Mendengar hal itu, penulis seketika teringat akan mega proyek pengarusutamaan gender yang telah lama menjamah bumi pertiwi kita. Nampaknya pemateri kala itu merupakan sosok yang secara langsung ataupun tidak mendukung mega proyek ini.
Wacana Kesetaraan
Ketika sesi pemapaparan materi diskusi telah usai, salah satu peserta mengajukan pertanyaan yang terlihat agak sensitif bagi sang guru besar. Pertanyaan itu pada intinya menanyakan mengenai langkah yang bisa dilakukan oleh fungsionaris prodi untuk merespon tantangan liberalisme, feminisme, dll.
Tidak lupa penanya juga menyampaikan mengenai kurikulum pelajaran inti yang dipelajari di dikampusny, seperti kurikulum keislaman yang berperan menjadi dasar keilmuan mahasiswa untuk bisa survive menghadapi tantangan keilmuan modern.
Setelah penanya selesai menanyakan pertanyaannya, bukan jawaban yang dipaparkan oleh pemateri, namun pertanyaan yang justru mengkritisi soal dari si penanya itu sendiri yang didapatkan. Dalam artian lain, ada sesuatu hal yang ingin disanggah oleh sang pemateri dari pertanyaan tersebut.
Beliau secara tidak langsung mempertanyakan mengenai kurikulum inti yang disebutkan oleh penanya, apakah kurikulum tersebut membuat mahasiswa semakin terbuka pikirannya, atau justru semakin suudzan terhadap perkembangan pola pemikiran dan keilmuan modern?
Dalam penjabaran lain, apakah kurikulum keislaman yang dipelajari mahasiswa itu membuat mahasiswa semakin memahami perkembangan ilmu pengetahuan modern atau justru membuat mahasiswa semakin anti terhadap wacana pemikiran dan keilmuan kontemporer?
Secara khusus, saya pribadi melihat bahwa beliau sedang berusaha mendudukkan wacana feminisme sebagai objek bahasan yang tidak patut untuk disalahkan. Melihat latar belakang tempat pemateri bekerja, maka memang wajar saja apabila beliau memang pro terhadap wacana pemikiran tersebut.
Secara tersirat, beliau berusaha menyampaikan mengenai kurikulum pelajaran yang dipelajari mahasiswa di sini malah berpotensi menjadikan pemikiran mahasiswa menjadi sempit dan tidak terbuka pada hal-hal/wacana yang bersifat kontemporer.
Berbeda dengan perkembangan keilmuan yang bersifat multi disiplin ilmu di universitas tempat pemateri bekerja. Di sana mereka tidak anti terhadap wacana keilmuan modern dan mengkaji berbagai wacana-wacana modern tersebut dengan leluasa dan pikiran terbuka.
Wacana Kesetaraan
Secara pribadi, penulis mengetahui bahwa di sudut ruang baca perpustakaan universitas itu terdapat petak ruang khusus yang berisi buku-buku yang sangat menarik untuk dibahas. Setiap sudut ruangannya terpenuhi dengan buku-buku bercorak pemikiran Syiah yang memenuhi rak-rak buku secara rapi.
Pemikiran-pemikiran semacam ini memang menjadi hal yang biasa dan tidak menjadi masalah di sana. Bahkan pihak kampus memberi akses pada wacana-wacana pemikiran seperti ini untuk bisa dikonsumsi bebas oleh masyarakat ataupun sivitas akademika.
Oleh karena itu, wajar saja apabila tokoh-tokoh besar dari perguruan tinggi tersebut memiliki sudut pandang dan corak keilmuan yang berbeda dari lingkungan akademik perguruan tinggi Islam pada umumnya. Karena telah jelas bahwa dasar paradigma keilmuan di sana memang berbeda dengan dasar paradigma keilmuan di sini.
Kembali pada sesi diskusi visiting professor, maka tidak tepat juga apabila penanya pertama tadi berusaha bertanya dengan menyebutkan kurikulum keagamaan yang dipelajarinya sebagai dasar perbandingan dalam pertanyaannya.
Seberapa jauh diskusi berjalan, pada akhirnya kita akan tetap berdiri pada kesimpulan yang tidak sama. Hal ini dikarenakan masing-masing dari kita berdiri pada standing point yang berbeda-beda. Terlebih standing point ini sangat dipengaruhi oleh basis keilmuan yang kita pahami.
Begitu juga dengan pertanyaan yang kuajukan. Pada akhirnya, jawaban-jawaban yang terlontar justru berseberangan dengan poin jawaban yang telah kupikirkan. Sempat ingin menyanggah, namun masih sadar diri bahwa diri ini sebatas mahasiswa dan penulis serabutan semata.
Sebatas berharap bahwa kita para mahasiswa harus selalu berprogres dan bertumbuh semaksimal mungkin. Sampai akhirnya salah satu dari kita bisa menggantikan sosoknya menjadi seseorang yang memegang peran krusial dalam dunia pendidikan.
Bukan dalam rangka membangkang, namun dalam rangka menyampaikan kebenaran. Kita memang memerlukan sosok pemimpin yang cerdas secara akademik, namun di saat yang bersamaan kita juga membutuhkan sosok pemimpin yang cerdas secara spiritual dan kecerdasan itu juga terbangun atas dasar basis Islamic worldview yang kuat.