Indonesian Dream: Menjadi Manusia dan Bangsa Berdaulat
Oleh: Krisna Wijaya
(tulisan lama)
Realitas dan Tantangan
Benjamin Franklin, Bapak Pendiri Amerika Serikat pernah menyampaikan sebuah gagasan yang menjelaskan akan hakikat sebuah keinginan dari masing-masing individu manusia sebenarnya bukan hanya mengenai pemuasan nafsu diri sendiri semata, namun lebih kepada mencapai kebahagiaan. Esensi kebahagiaan ini nantinya bisa menjadi suatu dorongan untuk mencapai kesejahteraan individu maupun sebuah masyarakat.
—
Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat belajar bukan saja dari sejarahnya sendiri, tetapi juga dari sejarah bangsa-bangsa lainnya untuk kemudian diambil pembelajarannya guna diorientasikan pada persiapan perubahan di masa mendatang.
Lantas kaitannya mengenai Indonesia, pertanyaan yang muncul adalah “Kemanakah arah yang Indonesia sedang tuju?” hal yang sama juga berlaku kepada masyarakat Indonesia, kita juga bisa mempertanyakan “Kemanakah arah yang sedang dituju oleh masyarakat Indonesia?”
Kedua pertanyaan itu menjadi penting untuk dikaji jawabannya karena dari jawaban kedua pertanyaan itulah, kita mampu memahami dan menyadari, apakah jawaban terhadap pertanyaan pertama secara prinsip berbeda dengan jawaban terhadap pertanyaan kedua? Apabila hal ini memang terjadi, maka sedang terjadi ketidakcocokan visi antara tujuan hidup yang ingin dicapai sebuah negara dengan tujuan hidup warga yang ada di dalamnya.
Di samping itu, jawaban dari masing-masing pertanyaan yang ada akan memberikan gambaran dari tujuan hidup insan Indonesia ke depannya mau menjadi apa dan bagaimana caranya. Tujuan itulah yang kemudian akan memberikan acuan tentang ke manakah kita berjalan sebagai individu dan sebagai masyarakat bangsa Indonesia ke depannya.
Lantas, di manakah tujuan itu kita temukan?
Jawaban untuk kedua pertanyaan di atas sebenarnya berada dekat dengan kehidupan kita. Tujuan itu merupakan impian dari setiap manusia Indonesia, dari Sabang di Aceh sampai Merauke di Papua; dari yang beragama Islam, Kristen, Hindu, dll; dari yang muda sampai yang tua; dari sebuah generasi ke generasi setelahnya. Itulah yang kemudian dinamakan Indonesian Dream atau Impian Indonesia.
Impian Indonesia ini telah diimpikan oleh salah satu di antara The Founding Fathers Indonesia, Ir. Soekarno dalam pidatonya yang bersejarah pada Sidang Umum Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tentang dasar negara Indonesia, Pancasila, pada 1 Juni 1945, mengatakan:
“Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup sempurna dengan social rechtvaardigheid ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ketuhanan yang luas dan sempurna, janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan.
Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia merdeka itu, perjuangan kita telah berakhir: Tidak!
Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia merdeka itu, perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita, Bersama-sama sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila.”
Merujuk kepada isi pidato tersebut, cita-cita manusia dan bangsa Indonesia sejatinya sudah tertuang di dalam tubuh Pancasila. Dan pilar-pilar untuk mengangkat cita-cita ini kemudian tertuangkan menjadi lima pilar di dalamnya. Artinya, eksistensi Pancasila ini sejatinya memberikan dasar pijakan perjuangan terhadap situasi dahulu, saat ini, dan di masa mendatang, untuk mewujudkan dan mempertahankan impian bangsa Indonesia yang telah diimpi-impikan sejak zaman dahulu.
Apakah Indonesia Dream itu?
Benjamin Franklin, Bapak Pendiri Amerika Serikat pernah menyampaikan sebuah gagasan yang menjelaskan akan hakikat sebuah keinginan dari masing-masing individu manusia sebenarnya bukan hanya mengenai pemuasan nafsu diri sendiri semata, namun lebih kepada mencapai kebahagiaan. Esensi kebahagiaan ini nantinya bisa menjadi suatu dorongan untuk mencapai kesejahteraan individu maupun sebuah masyarakat.
—
Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat belajar bukan saja dari sejarahnya sendiri, tetapi juga dari sejarah bangsa-bangsa lainnya untuk kemudian diambil pembelajarannya guna diorientasikan pada persiapan perubahan di masa mendatang.
Lantas kaitannya mengenai Indonesia, pertanyaan yang muncul adalah “Ke manakah arah yang Indonesia sedang tuju?” hal yang sama juga berlaku kepada masyarakat Indonesia, kita juga bisa mempertanyakan “Ke manakah arah yang sedang dituju oleh masyarakat Indonesia?”
Kedua pertanyaan itu menjadi penting untuk dikaji jawabannya karena dari jawaban kedua pertanyaan itulah, kita mampu memahami dan menyadari, apakah jawaban terhadap pertanyaan pertama secara prinsip berbeda dengan jawaban terhadap pertanyaan kedua? Apabila hal ini memang terjadi, maka sedang terjadi ketidakcocokan visi antara tujuan hidup yang ingin dicapai sebuah negara dengan tujuan hidup warga yang ada di dalamnya.
Di samping itu, jawaban dari masing-masing pertanyaan yang ada akan memberikan gambaran dari tujuan hidup insan Indonesia ke depannya mau menjadi apa dan bagaimana caranya. Tujuan itulah yang kemudian akan memberikan acuan tentang ke manakah kita berjalan sebagai individu dan sebagai masyarakat bangsa Indonesia ke depannya.
Lantas, di manakah tujuan itu kita temukan?
Jawaban untuk kedua pertanyaan di atas sebenarnya berada dekat dengan kehidupan kita. Tujuan itu merupakan impian dari setiap manusia Indonesia, dari Sabang di Aceh sampai Merauke di Papua; dari yang beragama Islam, Kristen, Hindu, dll; dari yang muda sampai yang tua; dari sebuah generasi ke generasi setelahnya. Itulah yang kemudian dinamakan Indonesian Dream atau Impian Indonesia.
Impian Indonesia ini telah diimpikan oleh salah satu di antara The Founding Fathers Indonesia, Ir. Soekarno dalam pidatonya yang bersejarah pada Sidang Umum Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tentang dasar negara Indonesia, Pancasila, pada 1 Juni 1945, mengatakan:
“Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup sempurna dengan social rechtvaardigheid ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ketuhanan yang luas dan sempurna, janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan.
Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia merdeka itu, perjuangan kita telah berakhir: Tidak!
Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia merdeka itu, perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita, Bersama-sama sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila.”
Merujuk kepada isi pidato tersebut, cita-cita manusia dan bangsa Indonesia sejatinya sudah tertuang di dalam tubuh Pancasila. Dan pilar-pilar untuk mengangkat cita-cita ini kemudian tertuangkan menjadi lima pilar di dalamnya. Artinya, eksistensi Pancasila ini sejatinya memberikan dasar pijakan perjuangan terhadap situasi dahulu, saat ini, dan di masa mendatang, untuk mewujudkan dan mempertahankan impian bangsa Indonesia yang telah diimpi-impikan sejak zaman dahulu.
Lantas, apakah cita-cita manusia dan bangsa Indonesia yang termaktub dalam Pancasila? Hal ini tentunya sesuai dengan apa yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi,
“… Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur ….”
Memang benar, cita-cita menjadi berdaulat memang bersifat universal karena setiap manusia secara rasional yang hidup di bumi juga akan bercita-cita menjadi manusia yang berdaulat (sovereign individual).
Lantas, bagaimanakah makna dari manusia yang berdaulat itu sendiri? Beberapa hal yang harus kita ketahui mengenai manusia yang berdaulat adalah sebagai berikut.
- Manusia yang berdaulat bukan yang melakukan segala sesuatu hanya untuk dirinya sendiri.
- Manusia yang berdaulat bukan bergantung sepenuhnya pada dirinya sendiri, atau bukan berarti kemandirian total.
- Manusia yang berdaulat bukan yang bergantung sepenuhnya kepada orang lain dan entitas lain, termasuk pemerintah.
- Manusia yang berdaulat bukanlah yang yang tidak percaya bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu sistem sosial kemasyarakatan yang ada.
- Dan manusia yang berdaulat bukan yang mengkhianati kodrat Ilahi dan alam bahwa manusia ciptaan Ilahi tersebut adalah majemuk.
Berbicara mengenai manusia yang berdaulat ini, Dr. Elwin Tobing kemudian mencoba untuk menyimpulkan, bahwa manusia yang berdaulat adalah manusia-manusia yang memiliki kemerdekaan; mengakui keberadaan dan hak asasinya sebagai pemberian Sang Pencipta; memiliki kemampuan untuk lebih independen dalam hidupnya; memiliki kemampuan untuk menciptakan kesempatan kepada dirinya dan orang lain untuk menikmati hidup yang lebih baik; dan memiliki kesadaran dan kemauan bertindak adil di lingkungan sosial.
Kaitannya dengan bangsa yang berdaulat, maka kita akan memahami bahwa mustahil bisa mewujudkan bangsa dan negara yang berdaulat apabila rakyatnya tidak berdaulat. Itulah Indonesia Dream, Impian atau Cita-cita Indonesia.
Pernyataan Dr. Elwin Tobing ini begitu menarik untuk kemudian diuraikan kembali karena di awal telah meyebutkan bahwa manusia yang berdaulat adalah manusia yang mengakui keberadaannya dan hak asasinya semata-mata pemberian dari Sang Pencipta.
Bukankah apabila dibawa kepada konteks keagaamaan, pengakuan akan keberadaan dan hak asasi manusia sebagai pemberian dari Sang Pencipta adalah suatu kondisi yang berorientasi pada istilah bernama “Iman”?
Alhasil, kita bisa menarik kesimpulan, apabila kita bawa hal ini kepada konteks keagamaan dan realita sejarah perjuangan bangsa Indonesia,[1] maka sesungguhnya mustahil mewujudkan bangsa dan negara yang berdaulat tanpa didasari iman sebagai dasaran pilar pembangunan kedaulatan tersebut.[2]
Dalam ruang lingkup yang lebih praktis, Prof. Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya Api Sejarah Jilid 1 membahas mengenai organisasi berbasis Islam yang memberikan kontribusi besar kepada perubahan kala itu. Beliau mempertanyakan, apakah mungkin, tanpa dukungan dari organisasi Islam, suatu pergerakan organisasi dapat berkembang menjadi organisasi nasional? Apakah mungkin P.P.P.K.I dapat mempertahankan eksistensinya, apabila PSII tidak menjadi pendukungnya?[43]
Inilah poin yang harus kita garis bawahi bersama. Menjadi negara yang bedaulat, merdeka, adil dan makmur, serta mempertahankan status yang telah diembannya ini akan menimbulkan konsekuensi untuk selalu mengikutsertakan keimanan dalam setiap langkah perjuangan yang ada.
Dan bila iman sudah berusaha ditiadakan dalam setiap aspek perjuangan yang ada, maka suatu hari nanti kita akan teringat akan keluhan David Thomas atau tangisan Tertulian yang sudah lapuk, “Apalah arti Athena tanpa Jerusalem.” Kaitannya dengan konteks negara berdaulat, maksudnya, apa artinya negara yang menjunjung tinggi kebebasan, keadilan sosial, kemerdekaan, kebahagiaan bersama, adil dan makmur jika pada akhirnya akan meniadakan eksistensi iman dalam perjalan perjuangan di dalamnya.
Daftar Pustaka
Secara umum artikel ini merujuk kepada buku yang ditulis oleh Elwin Tobing, Indonesian Dream: Revitalisasi & Realisasi Pancasila sebagai Cita-Cita Bangsa, (Jakarta: Kompas, 2018).
[1] Perumusan ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 pun merupakan rumusan dan hasil dari gagasan para ulama seperti Wahid Hasjim (Nahdatul Ulama), Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Kasman (Persyarikatan Muhammadiyah) bersama Teuku Mohammad Hasan (Ulama Aceh) yang kemudian diserahkan kepada Mohammad Hatta pada tanggal 18 Agustus 1945 M atau bertepatan dengan tanggal 10 Ramadhan 1364 H, untuk kemudian dilanjutkan ke Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Lihat Api Sejarah 1: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Bandung: Suryadinasti, 2014), h. 172.
[2] Bukti hal ini dapat kita lihat bersama dengan hadirnya sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai sila pertama dalam tubuh Pancasila. terlepas dari perdebatan kaum Islamis maupun Nasionalis, walaupun pada akhirnya seluruh anggota BPUPK bersepakat bahwa negara Indonesia akan berdasarkan kepada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Haji Agus Salim juga menyatakan bahwa ada atau tidaknya negara Indonesia merdeka, umat Islam tetap wajib menjalankan syariat Islam, biarpun tidak ada hukum dasar Islam di Indonesia. Dan bila kita telaah lebih jauh, konsep ideologi Ketuhanan yang Maha Esa tidak akan kita temukan dalam sifat ketuhanan pra-Islam. Karena sifat Tuhan pra-Islam dengan pemahaman anomisme-dinamisme, kemudian masa Hinddu-Buddha yang menyembah banyak dewa yang bukan bersifat Esa. Nilai ketuhanan yang Maha Esa jelas mengadopsi konsep bertuhan dalam Islam, hal ini begitu jelas dan tegas dalam Qur’an: “Tuhan kamu adalah Tuhan Maha Esa” (QS.an-Nahl [16]: 22). Lihat Fokky Fuad, Islam dan Ideologi Pancasila, Sebuah Dialektika, Lex Jurnalica Vol. 9, No. 3, 2012, h. 165.
[3] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 1, Op. Cit., h. 515.