berekspresi
Ruang Opini

Corak Kebebasan Berekspresi Kita Berbeda-beda

Oleh: Krisna Wijaya

 

Membahas mengenai kebebasan berekspresi, maka sejatinya pembahasan ini tidak terlepas dari konsep Hak Asasi Manusia (HAM) di dalamnya. Sebuah hak kebebasan yang telah dilindungi sejak tahun 1789 dalam Deklarasi Hak Manusia dan Penduduk di Perancis. Kebebasan itu kemudian juga ditegaskan dalam Amandemen Pertama dari Konstitusi Amerika Serikat pada tahun 1791 (Clavayvaud et al., 2020).  

 

Kebebasan berekspresi ini juga tercantum dalam International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) dan Universal Declaration of Human Right (IDHR) pasal 19 yang menegaskan bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan hak atas setiap orang. Hak-hak ini meliputi kebebasan berpendapat, menerima dan menyebarkan informasi dan gagasan apapun tanpa memandang batas (Kurniaty et al., 2021).

 

Walaupun hak kebebasan itu telah dilindungi oleh HAM internasional, namun perlu ditegaskan bahwa konsep kebebasan berekspresi masing-masing negara memiliki corak dan karakteristiknya masing-masing. Setiap negara memang memberikan hak kebebasan pada masing-masing warganya untuk mengekspresikan ekspresinya dengan bebas, namun perlu diingat juga bahwa makna kebebasaan tiap negara itu berbeda-beda tergantung dari dasar filosofis yang dipegang oleh negara tersebut.

 

Perlu ditegaskan juga bahwa kita memang tidak hidup di negara religius, namun bukan berarti negara kita adalah negara yang sekuler. Kesadaran agama dan kebangsaan memegang peran penting dalam berdirinya negara Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa …” (Gunawan, 2019).  

 

Pembukaan UUD ini telah jelas membuktikan bahwa aspek Ketuhanan benar-benar menjiwai jalan kemerdekaan bangsa Indonesia ini. Walaupun Indonesia bukanlah negara yang bercorak religius, namun aspek agama tidak bisa dipisahkan dari tubuh konstitusi bangsa ini. Hal ini tentunya akan mempengaruhi cara seseorang dalam mengutarakan ekspresi di negeri yang sama-sama kita cintai ini.

 

Di sinilah kita harus pandai-pandai dalam memahami dan menyikai hak berekspresi sesuai dengan nilai lokalitas yang berlaku di masing-masing tempat yang ada. Seyogyanya kita belajar dari kasus podcast Deddy Corbuzier mengenai pasangan LGBT, jangan sampai dengan dalih menghormati kebebasan berekspresi, kita memberikan ruang kepada pelaku penyimpangan untuk tampil di ruang publik tanah air.

 

Belajar Dari Kasus LGBT

Beberapa minggu setelah podcast Deddy berlalu, pada hari Rabu, 18 Mei 2022, Kedutaan Besar (Kedubes) Inggris untuk Indonesia mengibarkan bendera LGBT dalam rangka memperingati hari anti Homofobia, Bifobia, dan Transfobia dunia. Hal ini terjadi karena negara Inggris menganggap bahwa LGBT merupakan bagian dari HAM yang harus dilindungi keberadaannya. Berbeda dengan Indonesia yang tegas menyatakan bahwa LGBT merupakan sebuah bentuk penyimpangan yang tidak sejalan dengan falsafah dasar negara.

 

Sekali lagi, walaupun hak berekspresi benar-benar diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Clavaud & Mendel, 2020), namun sifat keuniversalan HAM ini masih akan dibatasi dengan nilai-nilai lokal yang berlaku di masing-masing negara. Pencampuradukan paksa nilai lokalitas suatu negara dengan negara yang lainnya merupakan pelanggaran HAM yang dapat dikatakan sebagai imperialisme hak asasi manusia (human right imperialism).

 

Walaupun bersifat universal, hak berekspresi di negara Barat belum tentu sama dengan hak berekspresi di Indonesia. Perbedaan ini ada karena konsep HAM memiliki nilai lokalitas yang menjadi ciri khas keunikannya masing-masing. Para pemikir konstitusi kita sebenarnya telah memikirkan hal ini dan merumuskan sebuah klausul yang membatasi konsep kebebasan yang dianut oleh Indonesia dengan memperhatikan pertimbangan moral dan nilai-nilai agama sebagai pertimbangan intinya (Sularto, 2018).

 

Inilah yang harus kita perhatikan bersama-sama sebagai seorang warga negara yang baik demi kepentingan bangsa dan negara ke depannya. Seyogyanya kita harus kembali mengingat keluhan yang pernah disampaikan oleh David Thomas bahwa, “Apalah arti Athena tanpa Jerussalem” (Zarkasyi, 2012). Kaitannya mengenai kebebasan berekspresi, apalah arti indeks kebebasan berekspresi yang tinggi kalau pada akhirnya hanya akan meniadakan nilai dan norma agama yang berlaku di masyarakat setempat.

 

Daftar Pustaka

Clavaud, P. D., & Mendel, T. (2020). Kebebasan Berekspresi dan Ketertiban Umum. United Nations Educational, Scientific and Cultural.

Clavayvaud, P. D., Mendel, T., & Lafneiere, I. (2020). Kebebasan Berekspresi dan Ketertiban Umum. UNESCO.

Gunawan, A. A. (2019). Nasionalisme Religius Untuk Indonesia. Sanggar Seni Budaya.

Kurniaty, R., Ikaningtyas, & Saraswati, A. agung. (2021). Pengantar Hukum Ham Internasional. UB Press.

Sularto, R. (2018). Pengadilan HAM (AD HOC) (D. M. Listyaningsih, Ed.). Sinar Grafika.

Zarkasyi, H. F. (2012). Misykat: Refleksi Tentang Islam, Westernisasi, dan Liberalisasi. INSISTS.

 

 

 

baca juga

sajakku Angkasa Berbeda 😉

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *