menulis
Pemikiran

Kembali Mengingat Peradaban Literasi Kita (2)

Kata-kata itu menjelma menjadi boneka lilin. Saat kita mati untuk memperjuangkannya, kala itulah ruh akan merambahnya dan kalimat-kalimat itupun hidup selamanya

“Sayyid Qutb”

Mengapa Menulis Penting?

 

Tokoh-tokoh pahlawan bangsa kita memahami betul bahwa perantara terbaik untuk mewakilkan pergerakan mereka yang terbatas karena pengaruh penjajah saat itu adalah dengan menggoreskannya melalui pena dan tulisan.

 

Mereka memahami bahwa tulisan-tulisan itu bisa menjadi media terbaik untuk menyampaikan ide dan gagasan kala itu. Napoleon Bonaparte bahkan juga menegaskan bahwa, “Aku lebih takut pada penulis daripada 1000 pasukan bersenjata lengkap.”

 

Kegiatan tulis menulis ini menjadi lebih penting lagi  ketika Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi melalui bukunya Misykat yang menjelaskan bahwa setiap tulisan mau pendek atau panjang masih bisa dapat menyampaikan ide. Bahkan sebuah ideologi juga dapat diekspresiakan dalam satu kata atau satu kalimat.

 

Sebab setiap kata berisi makna dan setiap makna mengandung konsep. Terlebih setiap konsep dihasilkan oleh worldview atau ideologi. Maka, kata atau kalimat itu bisa menjadi medium penyampai ide, pendapat dan paham. Bahkan gagasan besar pun bisa dituangkan dalam bentuk puisi.

 

Sebegitu penting itulah sebuah tulisan dulu, kini, dan nanti. Di sinilah para tokoh nasional kita lebih memilih menuliskan perjuangan mereka ketika raga dan badan mereka tidak lagi mampu berjuang kala itu.

Darimana Motivasi Mereka Berasal?

 

Muhammad Asad, Syed Muhammad Naquib al-Attas, dan Sun Tzu dalam karya-karya mereka telah meriset panjang lebar mengenai pentingnya sejarah dalam perkembangan sebuah peradaban manusia. Mereka kemudian sampai pada kesimpulan bahwa tidak peradaban manapun yang bisa bertahan dan maju apabila mereka telah terputus dengan identitas sejarah masa lalu mereka.

 

Lebih tegasnya lagi, Asad menyatakan bahwa, “No civilization can prosper, or even exist, after having lost this pride and the connecting with its own past.”

 

Lantas, apakah benar bahwa budaya literasi merupakan itentitas peradaban Islam itu sendiri? Apakah benar hal ini yang menjadi motivasi pada Founding Father kita dalam menyelami dalamnya budaya literasi.

 

 

Membahas mengenai sejarah, apakah kalian familiar dengan foto di atas? Berbagai sumber telah  menjelaskan bahwa foto di atas merupakan potongan dari naskah Piagam Madinah yang telah tergoreskan 14 abad yang lalu.

 

Lantas, apa hubungan piagam ini dengan identitas budaya literasi di sejarah peradaban Islam? Pakar manuskrip kuno dari Perancis, Prof. Hamidullah dalam disertasinya telah meneliti panjang lebar mengenai hal ini dan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Piagam Madinah adalah, “the first written constitution in the world.”

 

Keberadaan Piagam Madinah ini telah menajadi bukti nyata bahwa peradaban Islam sangat menjunjung budaya literasi sejak pertama kali bertumbuh di kota Makkah kala itu. Padahal kala itu Islam sedang diapit oleh dua peradaban besar, namun Islam ternyata lebih menjunjung tinggi budaya literasi kala itu.

 

Piagam ini bahkan ratusan tahun lebih cepat daripada tercetusnya Magna Carta (piagam negara Barat). Tidak hanya sebatas piagam saja, bukti-bukti kuat mengenai kuatnya budaya literasi juga telah nampak sejak masa kenabian.

 

Kedatangan risalah Islam telah berhasil merubah masyarakat yang terbelakang dalam budaya menulis menjadi masyarakat yang haus akan budaya literasi. Terlebih wajah budaya literasi ini semakin nampak ketika masa-masa keemasan peradaban Islam di dunia.

 

Sejarawan Barat, Tim Wallace Murphy dalam bukunya What Islam did For Us telah menjelaskan mengenai kentalnya kegiatan membaca dan menulis, terkhusus budaya penerjemahan di masa-masa keemasan Islam di Andalusia selama 800 tahun lamanya.

 

Di masa itu, peradaban Islam mampu mencapai dan menjaga kejayaannya selama 800 tahun lamanya dikarenakan basis pilar budaya literasi yang sangat kuat saat itu. Gerakan penerjemahan masal menjadi salah satu gerakan utama yang dilakukan oleh para ilmuan sekaligus ulama-ulama kita kata itu.

 

Bahkan sejarawan Barat, Karen Armstrong menyebut bahwa masa keemasan umat Islam di Andalusia selama 800 tahun itu juga merupakan masa keemasan orang-orang yahudi dan Barat di saat yang bersamaan. Hal ini dikarenakan mereka juga merasakan dampak dari masa keemasan peradaban Islam dalam bentuk akses buku-buku dan keilmuan yang sangat mudah diakses kala itu.

 

Para tokoh nasional kita nampaknya mengetahui dengan jelas mengenai sejarah budaya literasi yang ternyata sangat kental dalam sejarah keemasan peradaban Islam. Mereka juga mengetahui bahwa budaya literasi merupakan pilar kebangkitan keemasan seluruh peradaban besar di dunia.

 

Di sinilah letak semangat dan motivasi mereka dalam menumbuhkan budaya literasi yang kuat sedari dini. Mereka sadar bahwa Islam itu sangat menjunjung tinggi budaya literasi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam sejarah perjalanan peradaban Islam selama ini.

 

Inilah yang seharusnya kita pahami dan maknai dengan seksama. Tentang identitas kita sebagai umat yang tumbuh di atas dasar budaya literasi yang kuat. Jangan sampai kita melupakan sejarah keemasan tersebut dan justru bangga terhadap sejarah peradaban asing.

 

 

 

Oleh: Krisna Wijaya

Baca juga Peradaban Literasi I

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *