Gita Savitri: Menjadi Perempuan Bebas?
Aktivis sejarah Islam, Edgar Hamas melalui media sosial mereka @gen.saladin menjelaskan bahwa di setiap masa terdapat 4 masa yang menjadi poros sebuah peradaban. Masa pertama adalah keberadaan zaman emas yang menghasilkan manusia lemah. Kemudian manusia lemah menghasilkan zaman yang berat. Selanjutnya zaman berat menghasilkan manusia yang hebat, dan manusia hebat menghasilkan zaman emas.
Saat ini, fenomena yang terjadi di sekeliling kita rasa-rasanya telah menunjukkan bahwa zaman ini sedang tidak baik-baik saja. Kita sedang berada di zaman di mana kebaikan begitu berat untuk bisa bertumbuh di dalamnya. Keburukan dan kemungkaran justru tumbuh subur di tengah-tengah kehidupan manusia.
Isu Childfree
Baru-baru ini, publik sedang disibukkan dengan pembahasan isu childfree yang sedang hangat diperbincangkan oleh berbagai kalangan. Mendadak banyak elemen masyarakat yang tiba-tiba menjadi seorang ahli dan mencoba membahas isu ini dari berbagai perspektif sudut pandang mereka masing-masing.
Mulai dari pelajar hingga orang kantoran, mereka semua tertarik untuk membahas isu childfree ini. Dibalut dengan kosakata yang penuh frasa, influencer Gita Savitri dengan bangga memproklamirkan dirinya sebagai wanita yang setuju dengan konsep childfree.
Lantas, apasih yang dimaksud dengan childfree ini? salahkah memiliki keyakinan childfree? Hal ini perlu di baca dan dudukkan dengan adil agar kita bisa memahami dengan baik isu ini dan menanggapi dengan cerdas kehadirannya di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan negara.
Childfree dan Sebuah Kebebasan
Childfree sendiri merupakan sebuah sebuah keputusan yang diambil oleh seseorang untuk tidak memiliki anak karena berbagai alasan yang melatarbelakanginya. Membahas mengenai childfree, maka pada dasarnya pembahasan ini tidak akan jauh-jauh dari bahasan mengenai konsep hak asasi manusia itu sendiri.
Oleh karena itu, bahasan mengenai childfree ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari sejarah kemunculannya pertama kali. Dikutip melalui washingtonpost.com, Rachel Chrastil seorang guru besar sejarah dari Universitas Xavier menuliskan bahwa, “not having kids” bukanlah sesuatu hal yang baru-baru ini muncul.
Namun hal ini telah muncul berabad-abad tahun lamanya dalam sejarah manusia. Bahkan Rachel melalui bukunya How to Be Childless: A History and Philosophy of Life Without Children telah menjelaskan bahwa pada abad ke-21, jutaan wanita di seluruh dunia mencapai umur 45 tahun tanpa memiliki seorang anak.
Hal ini menujukkan bahwa isu childfree ini sudah lama dikenal oleh masyarakat, bahkan dijadikan keyakinan utama jutaan wanita di seluruh dunia saat ini. Memilih untuk mendukung gagasan ini tentunya merupakan hak yang dibebaskan oleh setiap individu dan dilindungi oleh kebebasan HAM secara universal.
Begitu juga dengan pilihan Gitasav yang memilih bebas dari keberadaan seorang anak dalam pernikahannya. Hal itu merupakan pilihan pribadinya yang secara personal tidak perlu kita pikirkan, namun mulai menuai masalah ketika hal itu dibawa dalam ranah publik dan digaung-gaungkan olehnya.
Seakan-akan berperan menjadi “si paling open-minded”, Gitasav sedang menggiring opini publik untuk bisa bersikap open-minded terhadap isu childfree ini. Masyarakat Indonesia diajak agar setidak-tidaknya menerima isu childfree ini sebagai sebuah isu yang tidak perlu untuk dipermasalahkan.
Childfree dan Isu Patriarki
Wakil pemimpin redaksi konde.co sekaligus pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, Anita Dhewy baru-baru ini menulis sebuah artikel yang menjelaskan bahwa stigma negatif yang melekat pada penganut childfree ini diakibatkan oleh kultur patriarki yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat.
Aktivis perempuan ini juga memandang bahwa stigma negatif ini juga hadir karena kondisi tubuh perempuan yang terlahir memiliki rahim dan dipandang sebagai sesuatu yang terberi. Maka dari itu, menjadi seorang ibu kemudian dianggap oleh masyarakat sebagai sebuah peran gender seorang perempuan.
Kondisi ini kemudian memunculkan norma pandangan sekaligus ekspetasi masyarakat yang memandang bahwa perempuan diciptakan untuk melahirkan anak. Hal ini merupakan norma gender yang mereka pandang dibentuk dengan tujuan memprioritaskan kewajiban daripada sebuah keinginan.
Di sinilah para aktifis femisi menentang hal ini karena menganggap bahwa keberadaan seorang anak merupakan buah dari sistem patriarki. Hal ini juga dibenarkan oleh akademisi Barat, Friedrich Engels yang melihat bahwa keberadaan seorang anak merupakan hal yang penting dalam institusi keluarga masyarakat patrialkal.
Pandangan dan gagasan ini kemudian terus-menerus direproduksi dan dilestarikan dengan berbagai perangkat, termasuk dengan perangkat kekuasaan sekalipun. Inilah yang di kemudian hari menjadi alasan tentang kewajiban memiliki anak merupakan sebuah bentuk ketidakadilan bagi wanita.
Lantas, bagaimana kita mendudukkan isu childfree ini dengan tepat? Banyak tokoh-tokoh akademisi, agamawan, bahkan pemerintah yang telah mengecam konsep ini apabila ditelan mentah-mentah. Apakah benar childfree sebuah kebebasan?
Apakah benar apabila memiliki seorang anak merupakan bentuk penindasan sekaligus ketidakadilan bagi seorang wanita? Apakah benar bahwa childfree merupakan bentuk kebeasan seorang wanita untuk memilih jalan hidupnya?
Wakil Presiden Republik Indonesia, KH Ma’ruf Amin beberapa waktu ini juga telah menegaskan bahwa konsep childfree merupakan bentuk pilihan hidup seseorang wanita yang telah menyalahi kodrat penciptaannya di dunia ini. Apa maksud menyalahi kodrat penciptaan seorang wanita? Bagaimana penjabarannya?
Selengkapnya di artikel berikutnya .
Bersambung …
Oleh: Krisna Wijaya