Open Minded Akan Kebeasan Hak dan Childfree
Apakah benar kepemilikan seorang anak bagi wanita adalah bentuk dari penindasan sekaligus ketidakadilan baginya? Apakah benar bahwa childfree merupakan bentuk kebeasan seorang wanita untuk memilih jalan hidupnya?
Wakil Presiden Republik Indonesia, KH Ma’ruf Amin beberapa waktu ini telah menegaskan bahwa childfree merupakan bentuk upaya menyalahi kodrat penciptaan bagi seorang wanita. Apa maksud menyalahi kodrat bagi seorang wanita? Bagaimana penjawabarannya?
KH Ma’ruf Amin juga menjelaskan bahwa salah satu fungsi dari sebuah pernikahan adalah untuk melanjutkan keturunan. Melanjutkan keturunan ini bukan dalam rangka memperbanyak populasi umat manusia saja, namun hal ini dilakukan untuk menjaga keberlangsungan manusia sebagai pengelola di muka bumi ini.
Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar manusia justru memberikan kerusakan pada bumi, akan tetapi akan selalu ada manusia-manusia yang peduli dan bervisi mengelola bumi ini sebagai seorang khalifah. Maka termasuk menyalahi kodrat penciptaan apabila ada manusia yang bervisi untuk tidak memiliki keturunan.
Dilansir dari detikcom, KH Maruf juga menjelaskan bahwa, “Dalam program penanggulangan stunting, tidak ada program apa namanya itu, freechild, itu tidak ada. Terlebih pernikahan itu dimaksudkan untuk mengembangbiakkan manusia melalui perkawinan supaya manusia berkembang dan terus bisa mengelola bumi ini sampai batas waktu terakhirnya, sampai kiamat,” tegas beliau dalam video yang diterima oleh detikcom.
Adapun KH Maruf menegaskan juga bahwa menunda memiliki keturunan tidaklah terlalu dipermasalahkan. “Saya kira keturunan itu bagian dari fungsi pernikahan, mungkin itu penting. Menunda mungkin, itu, menunda satu tahun, dua tahun, itu tidak ada masalah, namanya mengatur perkawinannya supaya tidak langsung punya anak, dia menunda dua tahun nanti siap-siap, begitu itu tidak masalah,” jelasnya.
Selepas Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin menyatakan tidak sepakat dengan konsep childfree, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi juga merespon pernyataan KH Maruf mengenai childfree ini. Aminah menyatakan bahwa,
“Kami menghargai berbagai pendapat dan pandangan terkait dengan childfree. Bagi yang setuju dan tidak setuju dengan childfree tentunya mereka memiliki alasan masing-masing terhadap kehadiran anak, fungsi perkawinan, keberlanjutan turunan, dan lain-lain.”
“Sebagai perempuan yang memiliki rahim untuk mengandung dan melahirkan anak, maka perempuan memiliki hak untuk menentukan apakah ingin memiliki anak atau tidak, jika ingin memiliki anak berapa, kapan, dan jaraknya berapa lama,” tegasnya lagi dalam menyikapi perbedaan pendapat yang ada.
Di sini telah nampak bahwa tidak hanya masyarakat di lingkup pedesaan saja yang berbeda pendapat, namun petinggi-petinggi pemerintahan pun juga memiliki pandangan dan opininya masing-masing dalam menyikapi isu permasalahan ini.
Menyalahi Kodrat Atau Memperjuangkan Hak?
Ramainya isu mengenai childfree ini pada dasarnya berasal dari pengalaman Gita Savitri yang membagikan pengalaman dan pandangan hidupnya melalui akun Youtube dan media sosialnya mengenai childfree.
“In my honest opinion, lebih gampang nggak punya anak daripada punya anak. Karena banyak banget hal preventif yang bisa dilakukan untuk tidak punya anak,” ujar Gita Savitri melalui akun Youtubenya.
Pernyataan Gita ini tentunya mendapat dukungan dari berbagai elemen masyarakat. Mayoritas yang mendukung didasari pada keyakinan bahwa perempuan memiliki haknya sendiri untuk menentukan dan mengatur otoritas terhadap tubuhnya sendiri, dan bukan ditentukan oleh norma pandangan masyarakat.
Ada juga yang berkeyakinan bahwa perempuan bukan sekedar “pabrik” keturunan dalam sebuah keluarga. Hal ini juga dibenarkan oleh berbagai pengamat isu perempuan, termasuk salah satunya Victoria Tunggono.
Victoria Dalam esai “Lapisan Identitas yang Kuhidupi” yang dimuat dalam buku Queer etc., menegaskan bahwa pada dasarnya, tidak semua perempuan diciptakan untuk menjadi seorang ibu dalam hubungan rumah tangga.
Menurutnya, seorang perempuan memiliki hak kebebasan untuk memikirkan kehidupannya secara bebas, termasuk berpikir untuk tidak menginginkan kehadiran seorang anak dalam hubungan sebuah keluarga.
Apabila sebagian besar penentang isu childfree menganggap bahwa memiliki anak adalah bentuk sebuah kebahagiaan berkeluarga, maka Victoria dalam bukunya Childfree & Happy justru menegaskan bahwa kebahagiaan memiliki banyak bentuk dan setiap orang memaknainya secara berbeda. Kebahagiaan tidak selalu ditentukan dari keberadaan seorang anak.
Pernyataan dan alasan yang menarik bukan? Orang awam barangkali akan setuju dengan opini dan pandangan yang dibawakan oleh Gita beserta aktivis perempuan yang lainnya. Sebuah gagasan yang memandang bahwa tidak semua perempuan diciptakan untuk menjadi ibu, kebahagiaan tidak selalu ditentukan oleh keberadaan anak, dll.
Lantas, bagaimana kita memandang permasalahan dan isu childfree ini dengan adil dan beradab? Untuk mendudukkan hal ini secara adil dan beradab, nampaknya kita harus memahami esensi kebahagian dan sejarah perjalanan umat manusia dari masa ke masanya.
Kebahagiaan Hakiki: Antara Kodrat dan Hak Wanita
Kita seakan-akan sedang berada di zaman yang sangat berat kala ini. Peradaban Islam rasa-rasanya sedang dalam kondisi puncak dalam redup cahaya kejayaannya. Dalam konteks bahasan ini, isu childfree menjadi salah satu indikasi nyata mengenai rusak dan rendahnya kualitas generasi masa ini.
Dengan dalih mengutamakan hak asasi manusia, mereka berusaha menyalahi hakikat kodrat penciptaannya di dunia. Terlebih dengan alasan sebagai sang pemilik rahim, wanita-wanita itu merasa memiliki hak penuh atas hal-hal yang mereka miliki. Padahal di setiap penciptaan terdapat hikmah penciptaan di sebaliknya.
Hebatnya lagi, sebagian dari mereka memandang bahwa tidak semua wanita ditakdirkan menjadi seorang ibu. Walaupun seorang wanita memiliki rahim, tidak melulu sumber kebahagiaan mereka adalah dengan menjadi seorang ibu dalam hubungan berkeluarga.
Hal ini tentunya sebuah kesalahan dalam memahami hakikat penciptaan dirinya sebagai seorang wanita. Walaupun memang benar bahwa mereka bisa dikatakan sebagai “sang pemilik rahim”, namun kepemilikan mereka memiliki keterbatasan yang mengikat di sebaliknya.
Karena kita hanya sebatas manusia dan bukan Sang Pencipta. Kita hadir di dunia ini dengan penuh hikmah penciptaan, maka akan lebih baik apabila kita memahami alasan di balik penciptaan kita itu seperti apa. Karena dengan memahami hal inilah, kita akan sampai pada titik kebahagiaan hakiki dalam hidup kita.
Ketika diskusi mengenai childfree ini dibenturkan dengan kodrat dan hak seorang wanita, maka penulis teringat akan nasihat emas Imam Malik. Beliau mengatakan:
لن يصلح آخر هذه الأمة إلا بما صلح به أولها…
“Tidaklah akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang telah membuat baik generasi awalnya …”
Nampaknya perkataan Imam Malik kala itu benar-benar terasa faidahnya di masa-masa ini. seakan-akan memberikan pesan bahwa akan datang sebuah masa yang mana generasi waktu itu sangat jauh dari kata baik-baik saja.
Pesan nasihat dari Imam Malik ini nampaknya menjadi sangat relevan dengan keadaan zaman kita saat ini. Wanita-wanita muslimah yang bergelar open minded itu nampaknya tidak mengetahui sejarah keemasan peradaban Islam tidaklah diwarnai dengan pilar childfree di dalamnya.
Entah darimana mereka mengambil dan mengadopsi budaya childfree ini, namun Islam tidak mengenal childfree dalam nilai-nilai ajaran di dalamnya. Generasi emas terdahulu tidak membutuhkan childfree untuk membangun peradaban yang maju dan gemilang. Maka begitu juga dengan kita yang tidak memerlukan hal yang sama dalam membangun peradaban Islam ke depannya.
Karena tidak mungkin generasi akhir umat ini menjadi baik kecuali dengan hal-hal yang membuat baik generasi sebelumnya kan? Maka tidak perlu neko-neko dan ikutilah jalan para pendahulu kita dalam membangun peradaban keemasan kala itu.
Oleh: Krisna Wijaya