Writer Ambassador, Lalu Apa?
Kamis, 25 Februari 2023, ajang nominas tahunan UNIDA Choice Award kembali digelar sebagai bentuk rentetan acara akhir tahun ajaran akademik di UNIDA Gontor. Acara ini diikuti oleh segenap civitas akademika UNIDA Gontor yang terdiri dari jajaran pimpinan kampus sampai dengan seluruh mahasiswa.
Berbagai nominasi penghargaan diberikan dalam ajang bergengsi kala itu. Penghargaan yang diberikan seperti reading ambassador, student of the year, writer ambassador, dll. Kemudian untuk kedua kalinya juga, penulis pada kesempatan itu mendapat nominasi final untuk menjadi duta besar menulis di kampusnya.
Writer ambassador, salah satu nominasi penghargaan yang penulis dapatkan ini merupakan sebuah amanat akademik yang tidak bisa dibanggakan dengan mudahnya. Ada tanggung jawab besar yang tersemat di sebaliknya ketika gelar kehormatan ini tersematkan dalam diri seorang mahasiswa.
Ingin berkata bahwa ini semua hanyalah sebuah kebetulan, tetapi penulis juga percaya bahwa tidak ada sesuatu hal yang bersifat kebetulan di dunia ini. Semua itu ada dan terjadi tidak terlepas dari ikhtiar seorang manusia dan jalan takdir yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta.
Alasan utama yang melatarbelakangi sang penulis untuk selalu menggoreskan kata dan frasa adalah karena memahami bahwa budaya menulis merupakan bagian dari corak pilar sejarah emas peradaban Islam itu sendiri. Sadar ataupun tidak, bukti-bukti mengenai hal itu telah jelas keberadaannya di sekitar kita.
Tatkala berdiri di atas mimbar podium, dengan suara lantang penulis ini menyampaikan keresahannya mengenai permasalahan umat Islam di Indonesia yang mengidap sindrom tuna baca dan pincang menulis. Sebuah penyakit yang menyebabkan seseorang tak mampu membaca dan susah menulis.
Minat baca mereka barangkali besar, namun daya baca mereka sangatlah rendah. Terlebih ketika diminta menuliskan buah pikiran yang terpikirkan, mereka tidak sanggup untuk melakukannya. Inilah penyakit yang saat ini sangat hinggap dalam diri setiap pribadi masyarakat Indonesia.
Di samping menyampaikan keresahan akan permasalahan yang ada, penulis dalam kesempatan mimbar kehormatan itu tidak bosan-bosannya mengingatkan mengenai sejarah peradaban Islam yang sangat kental dengan budaya literasi. Bahkan banyak di antara para akademisi kita yang menyebut Islam sebagai peradaban literasi.
Sadar ataupun tidak, banyak di antara kita yang dengan sengaja mulai melupakan sejarah keemasan itu. Di sanalah penulis berusaha berdiri dan menyampaikan informasi sejarah itu kembali kepada seluruh tamu undangan yang hadir kala itu.
Bagi penulis, kesempatan menjadi writer ambassador ini bukan sebatas penghargaan akademik semata, namun juga menjadi amanat akademik bagi sang penulis untuk selalu meningkatkan kualitas dan kuantutas kepenulisannya. Menjadi nominasi final bukan berarti berlepas diri setelah mendapatkannya, namun menjadi awal baru bagi sang penerima dalam dunia kepenulisan.
Sampai detik ini, penulis baru menggoreskan tidak kurang dari 130 tulisan di berbagai media yang ada. Masih terbilang sedikit dari impian 1000 goresan tulisan yang dimiliki oleh sang penulis. Berharap tulisan-tulisan itulah yang di kemudian hari akan merangkaikan masa depan sang penulis itu sendiri.
“Mencoba mengabadikan diri sendiri,” kata temanku. Semua hal ini sebenarnya bertujuan untuk mengabadikan dirinya sendiri di dunia. Karena penulis tidak akan tahu mengenai dari tulisan yang manakah, kebaikan bagi penulis itu akan didapatkan di masa mendatang.
Di sinilah penulis berusaha semaksimal mungkin untuk merangkai asa kepnulisan teman-teman yang memiliki potensi dalam kepenulisan. Mencoba membuat kelas menulis, gerakan menulis, ruang website kepenulisan, dll., adalah sedikit bentuk upaya yang dilakukan penulis untuk berdampak.
Memang benar bergerak sendiri itu akan semakin mengasah skill kita dalam satu bidang tertentu secara tajam, namun hal itu membuat kita tidak bisa bertahan lama di dalamnya. Ke depannya, semoga penulis dapat menemukan insan-insan yang memiliki visi yang sama dalam hal kepenulisan, dan berkolaborasi bersama dalam kebaikan.
Bukan hanya dalam rangka mengejar publikasi sebagai syarat kepangkatan akademik semata, namun juga menulis untuk kebaikan yang mengabadi di tengah-tengah kehidupan manusia itu sendiri. Jangan mengaburkan tujuan menulis hanya untuk kepentingan akademik saja. Ingat hal ini baik-baik!
Perjalanan penulis dalam menyelami dunia kepenulisan baru saja di mulai. Masih banyak tujuan besar lainnya yang belum dicapai oleh sang penulis. Maka dari itu, kehormatan menjadi duta besar menulis ini bukanlah sebuah penghargaan semata, namun juga amanat akademik yang di belakangnya tersemat hal besar yang menyertainya.
Pencapaian ini tentunya merupakan tujuan kecil dari sang penulis yang telah tergapai saat ini. Masih ada target-target besar lainnya yang harus diperjuangkan oleh sang penulis ke depannya. Maka dari itu, mohon doa selalu untuk kelancaran penulis ulung ini dalam berkarya melalui ruang bernama tulisan ke depannya.