Lapis-lapis Kebahagiaan
Hari ini, di pertengahan bulan Juni, di mana hujan sesekali menyapa menyampaikan kerinduannya pada bumi, aku merenungi kembali tentang manusia dan kebingungannya menyelami hidup di muka bumi ini.
Beramai-ramai manusia mencari makna bahagia, namun tidak sedikit yang memilih opsi mengakhiri nyawanya yang berharga. Belum lama ini contohnya, fans yang menamai dirinya sendiri dengan army mewajibkan diri untuk membeli produk makanan oppa-oppa Korea untuk mendapatkan kebahagiaannya sebagai army secara hakiki.
Lucunya lagi adalah sebuah berita yang menjelaskan bahwa salah satu fans army membentak-bentak orang tuannya hanya karena wadah bekas makanan idola mereka tidak sengaja dibuang oleh orangtua mereka di tempat sampah.
Kematian hati seorang anak adalah saat dia tidak lagi menjaga adabnya kepada orang tuannya. Padahal itu dilakukan murni karena ketidaksengajaan. Inikah produk kebahagiaan yang diharapkan? Kebahagiaan yang meniadakan adab dan hati nurani dalam diri seseorang.
Krisis identitas nyata benar-benar terjadi di antara anak-anak muda kita. Mau tua atau pun muda, mereka sama-sama bingung harus mencari rasa bahagia ini pada siapa dan meniru siapa agar benar-benar bisa bahagia.
Kutahu bahwa kebahagiaan setiap orang berbeda-beda. dalam menyelami makna kebahagiaan, kuyakin setiap orang memiliki caranya masing-masing dalam menggapainya.
Sebagian orang ada yang merasa bahagia tatkala berkerja di ladang untuk menghidupi keluarganya. Ada juga sebagian yang berbahagia ketika toko sayur pribadinya ramai dikunjungi pembeli.
Ada juga sebagian yang merasa bahagia tatkala mengabdikan dirinya pada kepentingan sosial masyarakat dalam kehidupannya. Itu semua adalah bentuk sumber-sumber kebahagiaan orang yang berbeda-beda. Namun, mengapa ada kasus di mana dia memiliki segalanya tetapi akhirnya memilih untuk mengakhiri nyawanya?
Di sini kumenyadari bahwa esensi bahagia pun dapat dibagi menjadi dua, bahagia tanpa iman dan bahagia karena iman. Keduannya memang sama-sama tersenyum, tertawa, dan terlihat bahagia pada umumnya, namun ada satu titik di mana bahagia tanpa iman akan sampai pada sebuah kondisi bernama hopeless dalam hidupnya.
Kondisi di mana mereka telah merasa bahagia atas pencapaiannya, namun ada sesuatu yang terasa hilang di saat yang bersamaan. Tak jarang rasa hopeless itu berujung kepada pertanyaan “untuk apa aku bahagia? atau kenapa aku harus bahagia?”
Kemudian rasa bahagia yang berlapiskan keimanan. Rasa bahagia yang tidak akan menemui titik hopeless di dalamnya ini hanya bisa diraih dengan jalan memadukan unsur keimanan di dalamnya.
Hal ini kurasakan ketika kusandarkan kebahagiaanku kepada objek yang tidak terikat oleh batas waktu itu sendiri. Dia yang memiliki predikat al-Awwalu wal-Akhiru adalah sandaran kebahagian terbaik bagi manusia. Lantas, mengapa hopeless ini datang? Ketahuilah bahwa hopeless datang ketika kebahagiaan kita didasarkan kepada sesuatu hal yang memiliki batas.
Kita tidak boleh lupa bahwa semua yang ada di dunia adalah memiliki batas dalam penciptaanya. Hal ini sebagaimana yang difirmankan dalam QS. ar-Rahman/55:26: kullu man ‘alaiha faan “semua yang ada di bumi akan binasa”.
Maka memang layak apabila kebahagiaan menemui titik hopeless apabila disandarkan kepada sesuatu yang terbatas di dunia. Namun, ayat itu juga memiliki memiliki lanjutan, wayabqa wajhu rabbika dzuul jalali wal-ikraam “tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal”.
Ketika kebahagiaan disandarkan kepada suatu zat yang tidak memiliki akhir, maka inilah hakikat kebahagiaan sejati di jalan ketaqwaan. Sadar ataupun tidak, kebahagiaan iman ini sering kita jumpai di sekitar kita.
Misal orang yang meminum air putih begitu bahagia ketika momen minumnya adalah dalam rangka berbuka puasa setelah menahan lapar dan haus seharian. Sebatas minum air putih saja, namun begitu bahagia karena hal yang dijanjikan kepada orang berpuasa adalah pahala yang besar di sisi-Nya.
Atau sebaliknya, ada yang dia menghabiskan dana pribadinya secara besar dan itu justru membuatnya bahagia karena momen penghabisan uang itu adalah dalam rangka shodaqoh jariyah pembangunan sebuah masjid.
Inilah bentuk kebahagiaan hakiki yang harus kita cari dan perjuangkan. Memang tidak murah harganya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya barang dagangan Allah sangat mahal, dan ketahuilah bahwa barang dagangan Allah adalah surga.” (HR. at-Tirmidzi (no. 2450).
Rancunya Visi Kebahagiaan
Orang tua jaman sekarang sering mengatakan kepada anaknya, “Nak, kelak jadilah dokter, guru, dan profesi besar lainnya agar bisa bekerja dengan baik”. Namun mereka lupa untuk melukiskan iman dalam mimpi anak-anaknya dengan mengatakan, “Nak, kelak bila kamu jadi dokter, jadilah dokter memegang teguh bahwa kesembuhan hanya berasal dari Allah dan profesi ini hanyalah perantara saja, dan bila kamu memiliki gelar jangan gunakan gelar itu untuk sesuatu urusan yang dibenci oleh Allah”. Penanaman nilai yang salah sejak dini itulah yang telah menggeser hakikat kebahagiaan yang hakiki menjadi sebuah kebahagian semu semata.
Akhir kata, kebahagiaan itu sejatinya adalah milik-Nya dan hanya Dia yang berhak memberi rasa kebahagiaan hakiki itu kepada siapapun makhluk yang Dia kehendaki. Otoritas kita adalah memilih dan mengusahakan, apakah kebahagiaan yang kita pilih bersifat semu atau hakiki disisi-Nya. Karena “Kullu man ‘alaiha faa, Wayabqa wajhu rabbika dzuul jalali wal-ikraam” (QS. Ar-Rahman/55: 26-27).
Tulisan lawas
Ponorogo, 18 Juni 2021