sekolahisme
Pemikiran

Sekolahisme: Kelumpuhan Paradigma Konsep Pendidikan

Oleh: Krisna Wijaya

 

Dalam sebuah sesi webinar pendidikan, Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi pernah menegaskan bahwa tidak ada peradaban besar di muka bumi ini yang tidak dibangun atas dasar sebuah pendidikan di dalamnya. Pendidikan ini selalu memegang peran sentral dalam perkembangan sebuah peradaban sejak zaman dahulu sampai dengan zaman modern saat ini.

 

Sejarah mencatat bahwa tidak ada satupun peradaban besar yang pernah memimpin dunia melainkan didasari dengan ilmu pengetahuan yang kuat. Oleh karena itu, pendidikan ini akan menjadi pilar utama dalam membentuk sebuah peradaban yang bermartabat (Sudarto, 2021). Sebuah bangsa yang menempatkan pendidikan sebagai prioritas pertama dalam pembangunan, maka sejatinya bangsa itu telah menyemaikan pilar-pilar kebangkitan sebuah bangsa di masa mendatang (Zuriyah & Sunaryo, 2018).

 

Perlu diketahui bahwa Indonesia merupakan sebuah negara yang secara konstitusi sangat memperhatikan aspek pendidikan. Bentuk perhatian ini salah satunya tertuang dalam pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” (Toyyibah, 2017).

 

Pasal ini menunjukkan bahwa negara berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan hak pendidikan kepada warganya dengan berbagai cara yang ada. Selain itu, pemerintah juga mengalokasikan dana anggaran APBN sebesar 20% khusus untuk anggaran pendidikan. hal ini sebagaimana yang tertuang dalam pasal 31 ayat 4 yang berbunyi, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) …”  (Dulay, 2018).

 

Berbicara mengenai pendidikan, ratusan dialog telah digelar, ratusan konferensi telah diadakan, dan lebih banyak lagi penelitian-penelitian dilakukan demi menguraikan benang kusut system pendidikan kita demi menemukan formulasi pendidikan ideal untuk menjawab tantangan zaman ini.

 

Perhatian-perhatian lain yang diberikan pemerintah kepada dunia pendidikan tentunya begitu besar, namun dengan perhatian-perhatian itu, kita rasa-rasanya masih berputar-putar di sekitar tempat kita memulai (Bagir, 2019).

 

Sekolahisme

Dr. Adian Husaini misalnya, beliau melihat bahwa ada sebuah permasalahan bersifat filososfis yang hinggap di tubuh pendidikan kita. Permasalahan tersebut adalah pandangan menyamakan sekolah dengan menuntut ilmu atau yang beliau istilahkan dengan istilah “sekolahisme”.

 

Sekolahisme merupakan sebuah pandangan yang menganggap bahwa ketika seseorang itu bersekolah, maka hal itu sama dengan mencari ilmu. Pandangan ini kemudian akan mengarah pada sebuah kesimpulan yang menyimpulkan bahwa tidak bersekolah berarti tidak mencari ilmu.

 

Seseorang yang telah menyelesaikan studi pendidikannya pada tingkat S3, maka dia sudah dianggap selesai menjalani tugas mereka dalam menuntut ilmu (Rahayu et al., 2021). Melalui berbagai tulisannya, Dr. Adian telah menegaskan bahwa istilah lain untuk paham ini adalah formalisme. Asalkan seseorang itu sudah bersekolah, maka dia sudah dinggap berpendidikan. Begitu juga dengan sebaliknya (Husiani, 2020).

 

Pemikiran seperti itu tentunya akan membawa malapetaka apabila dibiarkan begitu saja. Apakah kita boleh menyimpulkan kalau di masa Nabi Muhammad tidak ada sekolah (institusi pendidikan yang terdiri dari guru, murid, sarpras, dll) berarti tidak ada pendidikan?

 

Tentu ini adalah kesesatan berpikir yang nyata. Walaupun di zaman Nabi tidak ada sekolah sebagaimana sekolah yang ada saat ini, namun proses pendidikan telah terjadi di berbagai ruang kala itu. Terlebih di zaman modern ini, banyak sekolah justru tidak menjadi tempat yang kondusif dalam melaksanakan pembelajaran, namun justru sekedar menjadi tempat terselenggaranya formalitas pemberian gelar dan ijazah.

 

Lebih parahnya lagi adalah ketika mengukur kualitas sebuah pendidikan berdasarkan sesuatu yang nampak secara material saja. Baru-baru ini misalnya, Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) merilis daftar sekolah terbaik di di Indonesia berdasarkan nilai Ujian Tulis Berbasis Komputer (LTMPT, 2021).

 

Data yang dipaparkan oleh LTMPT ini akan membangun mindset masyarakat bahwa sekolah terbaik adalah sekolah yang memiliki pencapaian nilai UTBK yang tertinggi di antara sekolah lainnya. Menariknya lagi adalah ketika sebuah sekolah Kristen yang masuk dalam daftar 10 urutan teratas.

 

Padahal seharusnya ukuran terbaik itu adalah terbaik sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini juga selaras dengan UUD 1945 pasal 31 ayat 3 tentang tujuan pendidikan nasional yang berorientasi meningkatkan iman, takwa, serta akhlak mulia (Zarman, 2020).

 

Jadi seharusnya sekolah terbaik mestinya adalah sekolah yang berorientasi pada meningkatkan iman, takwa, serta akhlak mulia, bukan justru hanya berdasarkan UTBK semata atau bahkan sekolah yang secara nyata menyekutukan keimanannya kepada Allah.

 

Kalau pandangan mengenai sekolah terbaik ini terus berlanjut tanpa ada pembenahan, maka wajar saja kalau masalah-masalah yang kompleks di negeri kita tidak kunjung menemukan titik terangnya. Pemikiran-pemikiran di atas adalah sebuah turunan dari penyakit mematikan yang sedang hinggap di dunia pendidikan kita.

 

Joel Barker menamai penyakit mematikan ini dengan istilah “kelumpuhan paradigma” (Prashing, 2007). Kelumpuhan paradigma ini sangat berbahaya karena akan mencegah dari potensi sebuah perkembangan. Bagaimana Indonesia akan berkembang menjadi negara maju kalau dunia pendidikan kita ternyata masih penuh akan permasalahan yang begitu kompleks.

 

Bersambung…

 

Daftar Pustaka

Armstrong, T. (2006). The Best School: Mendidik Siswa Menjadi Insan Cendikia Seutuhnya. Mizan.

Bagir, H. (2019). Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia. Mizan.

Darmadi. (2018). Mendidik Adalah Cinta (A. K. Putra, Ed.). CV Oase Group.

Dulay, H. P. (2018). Pendidikan Islam di Indonesia: Historis dan Eksistensinya. Kencana.

Ghofur, A., & Asim. (2018). Menuju Sekolah Berwawasan Lingkungan (kasimun, Ed.). Lontar Mediatama.

Husiani, A. (2020, November 12). Bahaya Lain Dari “Sekolahisme.” Http://Member.Adianhusaini.Id/Member/Blog/Detail/Bahaya-Lain-Dari-Sekolahisme.

LTMPT. (2021). Top 1000 sekolah Tahun 2021 Berdasarkan Nilai UTBK. Https://Top-1000-Sekolah.Ltmpt.Ac.Id/.

Najib, M. (2021). Mengapa Umat Islam Tertinggal? Tawaran Indonesia Untuk Dunia Islam (Rubaie. Ach, Ed.). Cerah Budaya Indonesia.

Prashing, B. (2007). The Power of Learning Styles. PT Mizan Pustaka.

Rahayu, A. M., Supraha, W., & Tamam, A. M. (2021). Pengembangan Supervisi Proses Pembelajaran Berbasis Worldview Islam Pada Pendidikan Dasar. Rayah Al-Islam, 5(2), 670.

Sudarto. (2021). Filsafat Pendidikan Islam . Deepublish.

Toyyibah, I. (2017). Cara Belajar Gue Bangeeeettt. Kelompok Gramedia.

Wismayana, W. M., Warda, A. N., & Azmi, S. (2019). Kelas Keberagaman Sebuah Harapan Untuk Perdamaian. Cempluk Aksara.

Yusuf, M. Y. (2017). Islamic Corporate Social Responbility (I-CSR) Pada Lembaga Keuangan Syariah (LKS): Teori dan Praktik (S. Sarah, Ed.). Kencana.

Zarman, W. (2020). Pendidikan IPA Berlandaskan Nilai Keimanan: Konsep dan Model Penerapannya. Deepublish.

Zuriyah, N., & Sunaryo, H. (2018). Model Pendidikan Karakter Di Perguruan Tinggi (W. Setiyono, Ed.). Surya Pena Gemilang.

 

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *