Ijazah
Ruang Opini

Ijazah Tanda Pernah Bersekolah

Ijazah Tanda Pernah Bersekolah Bukan Bukti Pernah Belajar

Beberapa anak muda itu mengeluh di media sosial karena status ijazah mereka sebagai lulusan teknik di universitas yang mereka anggap bergengsi ternyata kalah saing dari seseorang yang berstatus lulusan STM ketika mendaftar sebuah pekerjaan.

 

Mereka menganggap bahwa ijazah yang mereka miliki dari universitas itu menjadi penjamin mutu utama bagi kemampuan mereka. Alhasil mereka tidak terima dan protes terhadap ketetapan hasil yang ada.

 

Padalah membahas mengenai ijazah, Rocky Gerung pernah menegaskan bahwa, “Ijazah adalah tanda seseorang pernah sekolah atau pergi ke sekolah, namun bukan bukti pernah berpikir dan belajar.”

 

Pernyataan ini memang penuh akan kontroversi di dalamnya, tetapi makna kandungan di dalamnya juga tidak bisa mutlak disalahkan. Bahkan pernyataan ini seakan-akan menggambarkan realita sekolah di era modern saat ini. Sebuah keadaan di mana mutu lulusan tidak lagi ditentukan kertas bukti kelulusan bernama ijazah.

 

Berpijak dari tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam UU, kalau pendidikan itu kita artikan sebagai sebuah proses pembelajaran yang dilakukan dalam rangka meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia, maka kita berhak mengatakan bahwa ijazah hanyalah tanda pernah bersekolah atau pernah pergi kesekolah dan bukan bukti pernah belajar.

 

Kalau dikatakan sebagai bukti belajar dan bukti keberhasilan dalam melewati proses pembelajaran, maka seharusnya orang-orang yang berijazah dan bergelar adalah seorang yang keimanan, ketakwaan, dan akhlak muliannya sudah teruji dan ternilai dengan baik. Namun pada kenyataanya tidak demikian kan! Karena angka-angka yang tertera di ijazah tidak akan pernah bisa mewakili representasi kualitas seorang pembelajar secara holistik (Ghofur & Asim, 2018).

 

Ada di luar sana seseorang yang tak memiliki gelar, tidak pernah mengenyam pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi, namun mampu berpikir dengan jernih, berteori dengan baik, bahkan iman, takwa, dan akhlaknya benar-benar menunjukkan diri sebagai perangai yang baik.

 

Sementara itu ada juga orang-orang yang telah mengeyam pendidikan sampai lintas negara, diterima di universitas terbaik di dunia seperti Stanford, Harvard, dll. (versi QS World University Rangkings 2022), bahkan telah meraih status Guru Besar, namun memiliki pandangan bahwa semua agama sama, LGBT merupakan fitrah penciptaan, dll,

 

Berbagai fenomena di atas menjelaskan bahwa menyekolahkan seorang anak di sekolah tidak bisa menjamin mutu kualitas pribadinya ketika lulus kelak. Kita harus sadar bahwa pendidikan tidaklah sama dengan persekolahan, karena pendidikan bisa terjadi di manapun dan kapanpun.

 

Hal ini perlu ditegaskan karena kemunculan institusi pendidikan formal bernama “sekolah” ini telah mendominasi persepsi masyarakat kalau tidak belajar di sekolah seakan-akan dicap sebagai orang yang tidak terdidik (Darmadi, 2018).

 

Kita perlu kembali mengingat perkataan Roem Topatimasang yang pernah mengatakan bahwa, “Setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah, dan setiap buku adalah ilmu” dan tidak lupa bahwa setiap kejadian adalah sebuah pembelajaran (Wismayana et al., 2019).

           

Menyerahkan seluruh proses pendidikan seorang anak kepada pihak sekolah saja adalah sebuah kesalahan yang fatal, apalagi menganggap bahwa proses pembelajaran hanya terjadi di masa-masa sekolah saja. Inilah yang harus kita perhatikan dengan seksama.

 

Keputusan menyerahkan pembelajaran seorang anak kepada pihak sekolah semata adalah sebuah kesalahan bagi orang tua. Karena seorang orang tua tidak akan tahu dengan pasti mengenai ilmu pengetahuan apa saja yang diajarkan kepada anak-anak mereka ketika belajar di sekolah.

 

Karena tujuan sejati dari pengajaran ilmu pengetahuan dalam sebuah pembelajaran apabila berpijak pada tujuan pendidikan nasional adalah untuk lebih mengenalkan diri akan keberadaan Tuhan di alam semesta ini, bukan justru meniadakan jejak keberadaan Tuhan dalam sebuah ilmu pengetahuan (Yusuf, 2017).

consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.

Sekolah Terbaik

Berbicara mengenai sekolah terbaik, saat ini kita sedang dihadapkan dengan berbagai data hasil riset mengenai sekolah terbaik yang dinilai dari berbagai aspek penilaian. LTMPT misalnya, yang memberikan data sekolah terbaik berdasarkan nilai Ujian Tulis Berbasis Komputer.

 

Baik sekolah bercorak agama ataupun umum akan dinilai berdasarkan akumulasi hasil UTBK ini. Dengan hadirnya data rangking sekolah terbaik yang dikeluarkan oleh LTMPT ini, masyarakat mulai menganggap bahwa baik atau tidaknya sebuah sekolah akan ditentukan berdasarkan nilai UTBK.

 

Padalah sudah jelas bahwa angka-angka itu tidak akan bisa menggambarkan kualitas pendidikan sebuah sekolah secara holistik. Karena sejatinya sekolah-sekolah itu tidak harus memiliki nilai UTBK yang tinggi untuk bisa dikatakan terbaik (Armstrong, 2006).

           

Di samping itu, kata “terbaik” ini juga sebenarnya masih meninggalkan permasalahan yang harus kita perhatikan dengan seksama. Pertanyaan yang muncul setelahnya adalah dari manakah definisi “terbaik” ini kita timbang?

 

Terbaik menurut seorang pencuri adalah ketika mendapat hasil yang besar ketika mencuri. Terbaik bagi orang dermawan adalah ketika dia bisa memberikan rizki yang dititipkan Allah kepadanya untuk kebermanfaatan orang lain. Begitu juga dengan permasalahan “sekolah terbaik”.

 

Definisi sekolah terbaik ini seharusnya kembali ditimbang dengan merujuk kepada tujuan pendidikan nasional yang telah ditetapkan oleh konstitusi kita. Setelah kita memikirkan definisi dari kata “terbaik” yang ditimbang dengan berdasarkan tujuan pendidikan nasional, maka akan muncul sebuah pertanyaan, apa gunanya sekolah dengan nilai UTBK yang tinggi, gedung-gedung yang megah, jumlah murid yang banyak, dll., kalau pada akhirnya tidak menjadikan aspek agama sebagai pilar pendidikannya?

 

Sepertinya kita harus memegang betul-betul mengenai nasihat Prof. Habibie mengenai Iptek dan Imtak. Dalam upaya membangun peradaban Indonesia yang bermartabat, Prof. Habibie merumuskan rumusan sayap pesawat berupas Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) dan Imtak (iman dan takwa).

 

Dalam membangun peradaban Indonesia, Imtak itu ibarat sayap kanan sebuah pesawat dan Iptek adalah sayap kiri sebuah pesawat. Demi terbang tingginya pesawat tersebut, maka kedua sayap ini (Iptek dan Imtak) ini harus diseimbangkan peran dan sinerginya (Najib, 2021).

 

 

Mohon maaf atas tidak konsistennya dalam publish artikel di website Goresanilmu

Penulis sedang dalam masa mengerjakan tugas akhir dalam proses studinya. Mohon untuk dimaklumi dan didoakan agar selalu menguat “)

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *