Kausalitas Kehidupan dalam Islam #2
Lanjutan dari artikel kausalitas #1
Pilar keimanan Islam yang keempat yaitu Beriman kepada Rasul Allah. Iman kepada Rasul memiliki arti yang perlu difahami oleh setiap umat Islam. Mengartikan Iman sebagai bentuk kepercayaan, keyakinan dan ketetapan hati maka, memercayai segala ajarannya dan menjadikannya suri tauladan yang baik merupakan tonggak dari Iman kepada Rasul Allah SWT.
Seluruh Rasul Allah merupakan pemilik jiwa yang bersinar dengan bersandar kepada mukjizat mereka yang tampak jelas. Rasul juga manusia yang di ciptakan oleh Allah SWT, akan tetapi Rasul dengan manusia biasa dapat dilihat dari utusan serta mukjizat yang Allah berikan kepadanya.
Allah SWT telah mengutus para Rasul untuk menyampaikan risalah tauhid kepada setiap umat manusia. Oleh karena itu, jumlah para Nabi dan Rasul sangatlah banyak akan tetapi yang wajib kita yakini dan percayai adalah 25 orang.
Tertera dalam QS. Al-Mu’min ayat 78 Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, diantara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan diantara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.
Tidak dapat bagi seorang Rasul membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizing Allah, maka apabila telah datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara) dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.” Lalu bagaimana cara kita beriman kepada Rasul Allah?
Pertama, mengikuti ajarannya, ajaran rasul sama halnya dengan mengikuti ajaran Allah SWT. Kedua, tidak membeda-bedakan Rasul. Ketiga, meneladani perilaku para Rasul dalam kehidupan sehari-hari sebagai contoh dan panutan. Keempat, taat dan patuh dalam menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan Allah SWT. Kelima, meyakini sifat wajib Rasul yaitu Fatanah, Sidiq, Amanah, Tabliq. Dan sifat mustahil Rasul yaitu Baladah, Kizib, Khianat, Kitman. Maka, manfaat dari beriman kepada Rasul yaitu kita mempercayai adanya ajaran baik dan buruk, meneladani dalam kehidupan sehari-hari, hingga kita dapat membedakan mana yang baik dan buruk.
Pilar keyakinan yang kelima yaitu Beriman kepada Hari Kiamat. Dunia adalah tempat tinggal serta tempat menguji manusia akan halnya baik dan buruk. Allah SWT menciptakan alam semesta dan seluruh isinya agar Ia ingin memperlihatkan kepada ciptaan-Nya betapa Maha Agung dan Maha Besar kekuasaan-Nya.
Selain itu, kehidupan seluruh ciptaan-Nya tidak akan kekal dan akan diminta pertanggung jawaban atas segala perbuatan selama hidupnya. Allah SWT berfirman, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati, kemudian hanyalah kepada Kami, kamu dikembalikan” (QS. Al-‘Ankabut [29]: 57).
Hari akhir yang sering disebut hari kiamat adalah hari dimana dunia seluruh isinya akan binasa hancur dan tidak ada kehidupan kembali. Percaya dengan sepenuh hati bahwa suatu saat semesta ini akan hancur dan berakhir adalah bukti bahwa kita beriman kepada pilar rukun Iman yang kelima.
Peristiwa hari kiamat terjadi dalam dua fase, yaitu kiamat sugro (kecil) dan kiamat kubro (besar). Jika kiamat sugro adalah kejadian yang sering kita ketahui dalam lingkup kecil seperti bencana alam maka, kiamat kubro adalah kejadian yang sesungguhnya yaitu, proses hancurnya alam semesta berserta seluruh penghuninya.
Dalam surah Al-Zalzalah ayat 1-2, Allah SWT berfirman, “Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat, bumi mengeluarkan isi perutnya”. Dari peristiwa tersebut, Al-Qur’an telah menggambarkan betapa dahsyatnya hari kiamat itu terjadi. Akhirat merupakan dimensi fisik yang terjadi setelah dunia fana berakhir.
Terjadinya hari Kiamat atau hari akhir tidak siapapun yang mengetahuinya kecuali Allah SWT. Manfaat mempercayai hari akhir untuk umat Islam adalah meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah, ingat akan kematian dan kehidupan setelah mati, dan percaya hanya Allah SWT yang Maha Kekal.
Allah SWT Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk kita, berbaik sangka terhadap-Nya adalah perintah untuk kita semua umat Islam. Ketetapan yang Allah berikan kepada umat Islam dapat diaplikasikan dalam rukun Iman keenam yaitu, Beriman kepada Qada dan Qadar.
Qada berarti hukum, kehendak perintah atau ketetapan Allah SWT. Kemudian Qadar adalah wujud kenyataan yang terjadi atas kehendak-Nya. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori menjelaskan bahwa adanya ketentuan Allah SWT, “Allah mengutus malaikat pada setiap rahim, kemudian malaikat tersebut mengatakan; Ya Rabbi, ataukah sebatas segumpal mani?, ya Rabbi, ataukah sebatas segumpal darah?, ya Rabbi, ataukah sebatas segumpal daging?, dan jika Allah berkehendak memutuskan penciptaannya, malaikat mengatakan, ya Rabbi, ataukah laki-laki ataukah perempuan?, sengsarakah atau bahagia?, seberapa rezekinya, kapan ajalnya? Lantas ditulis, demikian pula dalam perut ibunya.” (H.R. al-Bukhari diriwayatkan dari Anas bin Malik).
Dari hadist tersebut menjelaskan bahwa jenis kelamin, rezeki, ajal, dan keadaan semasa hidupnya telah ditentukan Allah SWT. Ketika manusia berada dalam kandungan ibunya dan ketika ia lahir di dunia maka, ia akan mengalami peristiwa yang telah ditentukan Allah SWT terhadapnya.
Walaupun demikian, manusia telah ditentukan takdirnya bukan berarti ia hanya diam menunggu tanpa berusaha dan berikhtiar. Kita sebagai manusia tetap wajib berusaha untuk meraih yang terbaik. Karena, Allah SWT telah memberikan jalan kepada manusia untuk menjalani kehidupannya dengan cara ikhtiar sekuat tenaga serta mengiringinya dengan berdoa.
Sebuah kisah di zaman Nabi Muhammad SAW, seorang Badui datang menghadap Nabi dengan menunggang kuda, Setelah sampai orang tersebut turun dari kudanya dan langsung menghadap Nabi saw, tanpa mengikat kuda miliknya. Kemudian, Nabi menegur orang tersebut, ‘’Mengapa kudanya tidak diikat?’’ Orang Badui itu menjawab : ‘’Biarlah saya bertawakal kepada Allah SWT.’’ Nabi pun bersabda : “ikatlah kudamu, setelah itu, bertawakallah kepada Allah SWT.”
Dari kisah tersebut kita dapat mengambil pelajaran betapa pentingnya berikhtiar kepada Allah SWT. Manusia hanya berusaha, bertawakal dengan menyerahkan masalah hasil kepada Allah SWT. Sebagai contoh lainnya, seorang mahasiswa yang ingin lulus dari perguruan tinggi, maka ia harus belajar dan memaksimalkan usaha dengan disertai doa. Lalu hasil yang telah ia usahakan kemudian menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT.
Oleh: Sintya Kartika Prameswari/Alumni Unida Gontor