menulis
Hamid Corner

Dialog Bersama Guru Besar: “Potensi Saya ini Menulis”

Oleh: Krisna Wijaya

 

Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi sebutan koleganya dalam dunia akademik dan Ustadz Hamid panggilan kami terhadap beliau ketika di dalam kampus, merupakan sosok besar yang menginspirasi dan memotivasiku untuk mulai menyelami kedalaman ilmu yang ada di Universitas Darussalam Gontor.

 

Masih teringat dengan jelas pertemuan pertama kami di Yogyakarta kala itu. Beliau dalam rangka safari dakwah sedang mengunjungi Jogja sebagai salah satu destinasi wajib dakwah beliau setiap tahunnya. Kebetulan kala itu beliau sedang membawakan bahasan mengenai pendidikan Islam di Indonesia yang khas dengan corak pandangan beliau.

 

Entah hidayah dari mana, kala itu aku merasa tertarik dengan tema pembahasan yang beliau bawakan mengenai pendidikan Islam. Beragam permasalahan di dunia pendidikan yang belum pernah kubayangkan saat itu dan beragam tantangan pemikiran yang tidak pernah kuketahui sebelumnya sangat menarik perhatianku kala itu.

 

Sampai kemudian beliau menyampaikan salah satu kunci pembenahan itu adalah melalui penerapan pendidikan berbasis adab (ta’dib) di dunia pendidikan Indonesia. Salah satu kata penutup yang kemudian membuatku semakin tergetar hatinya hatinya adalah pernyataan beliau yang berbunyi, “ Di UNIDA, kami tidak mempelajari konsep pendidikan berbasis adab. Di UNIDA, kami hidup bersama adab itu sendiri.”

 

Pernyataan beliaulah yang kala itu membangun pondasi keputusan diriku untuk menyenyam pendidikan di UNIDA Gontor dengan mengambil spesialisasi Pendidikan Agama Islam saat ini. Tentu alasan itu dikuatkan dengan pertemuan dengan Dr. Adian Husaini yang kala itu juga semakin menguatkan pilihanku untuk menimba ilmu di UNIDA Gontor nantinya.

 

Hingga kemudian seberjalannya waktu, kusadari melalui riset dan bukti ilmiah yang ada bahwa UNIDA Gontor memang benar-benar telah menerapkan konsep pendidikan berbasis adab itu secara holistik dalam kurikulum pendidikannya.

 

Dialog dengan Prof. Hamid

Beberapa waktu setelah menjadi mahasiswa beliau di UNIDA, diriku menjadi lebih terbiasa dengan beragam diskursus pemikiran yang menjadi konsumsi sehari-hari Prof. Hamid. Secara terkhusus, diriku lebih berfokus pada ruang lingkup dunia pendidikan dengan mengikuti langkah perjalanan guru dan ayah ideologis kami seperti Dr. Adian Husaini, Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi, dll.

 

Walaupun belum berkesempatan bertemu dengan Prof. al-Attas secara langsung, namun mengambil sanad keilmuan dari murid-murid langsung beliau merupakan sebuah kesempatan besar bagiku. Hingga kemudian sampailah diriku pada suatu waktu mengunjungi rumah Prof. Hamid untuk sekedar berbincang dan berdiskusi siang itu.

 

Di tengah-tengah perbincangan, Prof. Hamid menjelaskan bahwa beliau merupakan sosok yang sangat kuat menghidupkan budaya literasi dalam kehiduapan sehari-harinya sejak dulu. Beliau bahkan menegaskan bahwa, “Potensi saya ini adalah menulis. Jadi ketika saya tidak menulis, maka saya tidak potensial.”

 

Hal ini menunjukkan mengenai betapa beliau sangat menghargai dan memuliakan budaya menulis dalam kehidupan manusia. Bahkan budaya menulis ini sudah beliau beliau hidupkan semenjak masa-masanya menjadi mahasiswa di ISTAC. Bersama para pemerhati pemikiran Islam lainnya, beliau sudah aktif menuliskan beragam karya-karya ilmiah di beragam media masa yang ada untuk menghadang arus tantangan pemikiran liberal kala itu.

 

Perkataan beliau kala itu benar-benar menjadi salah satu semangat besar bagiku untuk mendalami dunia kepenulisan lebih intens lagi. Apalagi diriku dipertemukan dan mengenal beragam tokoh-tokoh besar yang begitu memotivasi dalam bidang penulisan seperti Prof. Muntaha dari IIUM, Ustadz Mikael Marasabessy penulis buku H.O.S Tjokroaminoto, Dr. Adian Husaini salah satu sahabat Prof. Hamid dan juga pendiri INSISTS, Assoc. Prof Syamsudin Arif dari INSISTS, Dr. Henri Shalahuddin dari INSISTS, dll.

 

Beragam tokoh-tokoh itu kemudian menjadikanku semakin memahami dan sadar bahwa agama Islam itu merupakan agama yang dibangun atas dasar-dasar budaya literasi yang kuat di dalamnya. Hal inilah yang berusaha ditekankan oleh tokoh-tokoh besar di atas, terkhusus ayahanda Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi kepada kami semua di UNIDA Gontor.

 

Bahkan di satu waktu, beliau pernah menegaskan bahwa, “Membaca, menulis, dan berdiskusi adalah syariat akademik.” Hal ini menunjukkan bahwa begitu pentingnya budaya literasi bagi kaum muslimin, terkhusus para akademisi muslim untuk memperhatikan budaya literasi dalam kehidupan mereka.

 

Maka jangan sampai kita menjadi manusia yang tuna baca dan pincang menulis di saat sejarah peradaban agama kita begitu kental dengan budaya literasi. Terlebih bagi mahasiswa dan orang-orang yang diberikan kesempatan menimba ilmu secara langsung kepada beliau. Maka sungguh merugi orang-orang yang demikian itu apabila mereka masih tuna baca dan pincang menulis setelah diberikan kesempatan mengenal beliau.

 

Beliau nampaknya benar-benar berusaha menunjukkan salah satu sosok muslim ideal dalam pandangan beliau dan sesuai dengan tradisi umat Islam terdahulu adalah yang memiliki budaya literasi dalam dirinya. Lantas, bagaimana dengan kita saat ini wahai anak muda? 🙂

 

 

 

 

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *