kepakaran
Pemikiran

Dr. Karlina Supeli: Matinya Kepakaran!

Dalam sebuah sesi kuliah umum di Goethe Institut Jakarta, Dr. Karlina Supeli membawakan sebuah kuliah umum dengan tema “Masyarakat Takhayul vs Masyarakat Ilmiah”. Karlina Supeli merupakan seorang akademisi dan sekaligus seorang filosof perempuan yang aktif dalam berbagai gerakan kemanusiaan..

 

Dalam salah satu sesi kuliah umumnya, Karlina menjelaskan mengenai permasalahan matinya kepakaran bagi seorang pakar. Matinya kepakaran ini terjadi ketika seorang pakar tidak lagi berbicara mengenai kepakarannya. Karlina menegaskan bahwa pakar ilmuan setingkat guru besarpun juga bisa bias karena dipengaruhi oleh ideologi, agama, kepentingan tertentu, dll. Inilah masa-masa matinya kepakaran seorang pakar.

 

Ketika sang pakar telah terbias akan berbagai variabel pembias di luar dirinya, maka sang pakar pun tidak lagi berbicara mengenai kepakaran yang dimilikinya. Hal ini ditegaskan oleh Karlina dalam sebuah acara yang mengusung kemajemukan Indonesia di Jakarta kala itu. Kritik yang Karlina lontarkan ini merupakan respon para pakar atas beragam situasi publik yang justru sangat bias dari unsur objektifitas di dalamnya.

 

Karlina juga sedikit menyinggung mengenai beragam hukum dan respon para pakar yang menurutnya subjektif dan bias ketika merespon isu mengenai kecenderungan seksual yang merupakan bagian dari kemanusiaan. Bahkan di sela-sela sesi kuliah umumnya, Karlina juga mengutip pernyataan seorang seorang akademis yang berkata bahwa,

 

“Menghina seseorang karena kecederungan seksualnya berarti menghina Dia yang menciptakan kecenderungan itu. Dari segi hukum berarti negara wajib melindungi hak-hak kemanusiaan dan kewarganegaraan mereka yang terpinggirkan dari intoleransi dan kebencian”

 

Karlina menyayangkan mengenai para pakar hukum ataupun para akademisi yang seharusnya bersikap objektif dengan kepakaran yang mereka miliki dalam merespon segala persoalan yang ada, ternyata justru bersikap subjektif karena terpengaruh oleh ideologi tertentu, agama, ataupun kepentingan tertentu dan akhirnya tidak bisa merespon beragam permasalahan yang ada dengan lebih netral.

 

Sedikit Membuka Mata

Sekilas, apa yang dikatakan oleh Dr. Karlina sebagai seorang pakar dalam bidang filsafat memang nampak benar dan patut untuk dipuji karena cerdasnya retorika yang dibawakannya, namun secara tidak langsung dirinya juga sedang menunjukkan kekurangannya sendiri secara tidak sadar.

 

Ketika Karlina menyatakan bahwa kepakaran para pakar mulai mati karena pikirannya bias akan  ideologi, agama, ataupun kepercayaan tertentu, maka dirinya pun secara tidak langsung juga sedang menempatkan diri sebagai seorang pakar yang telah mati kepakarannya.

 

Karlina sebenarnya sedang mengkritik para ahli dan pakar yang pikirannya bias akan ideologi dan kepercayaan tertentu, sehingga akal pikirannya tidak mampu menghasilkan ilmu pengetahuan yang netral akan segala sesuatu hal menurut pandangannya.

 

Padahal telah jelas ditegaskan dan dibuktikan oleh para intelektual muslim bahwa tidak ada ilmu pengetahuan yang bebas dengan nilai di dalamnya. Ketidakbebasan nilai ini diakibatkan karena ilmu pengetahuan sudah tercampur dengan nilai-nilai pikiran hidup dari para ahli yang menggagas dan mengembangkannya.

 

Kemudian ketika Karlina sedang mengkritik para pakar yang terbias karena nilai-nilai tertentu, maka sebenarnya dirinya juga termasuk dalam bagian dari para pakar yang telah mati kepakarannya. Kematian kepakaran Karlina Supeli ini terjadi karena pikirannya menjadi bias dengan menempatkan diri sebagai subjek yang anti terhadap ideologi agama dan kepercayaan tertentu.

 

Hal ini menjadi sangat jelas ketika dia mengutip pernyataan seorang dosen yang menyatakan bahwa, “Menghina seseorang karena kecederungan seksualnya berarti menghina Dia yang menciptakan kecenderungan itu.”

 

Kutipan ini telah menunjukkan mengenai framework ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh Karlina ternyata juga sudah bias akan nilai-nilai tertentu di dalamnya. Walaupun dia menggembor-gemborkan mengenai kenetralan keilmuan, ketidaknetralan para pakar, dll., namun dirinya sendiripun sebenarnya telah bias dan juga tidak netral.

 

Menempatkan diri sebagai seseorang yang menerima agama ataupun menolak agama juga pada dasarnya sama saja. Tidak ada kenetralan di antara dua pilihan tersebut. Semua memiliki nilai dan tidak ada kenetralan sama sekali di salah satu sisinya.

 

Karena mustahil ada sisi kenetralan dalam dimensi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itu telah tumbuh berkembang sesuai dengan framework para ahli dan pakar yang mengembangkannya. Tidak ada ilmu pengetahuan apapun di dunia ini yang bebas akan nilai tertentu di dalamnya. Bahkan ideologi besarpun bisa dituangkan dalam seuntai rangkaian puisi senja yang memanjakan mata.

 

Di sinilah kita mulai mempertanyakan, apa makna kenetralan dalam pandangan Dr. Karlina Supeli? Apakah kenetralan itu adalah dengan menghargai beragam kecenderungan seksual yang beragam dan menghormati hal itu sebagai salah satu hak dari kemanusiaan? Apakah kenetralan itu adalah dengan menolak intervensi nilai agama? Atau apakah kenetralan itu adalah ketika kita menerima beragam paham peradaban Barat tanpa ada penolakan sama sekali?

 

Menarik untuk dibahas bukan kematian kepakaran ini ..,

 

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *