Hamid Corner

65 Tahun Perjuangan Prof. Hamid, Rasa Senang dan Selamat Saja Tidak Cukup

Rambutnya semakin memutih

Namun rasa-rasanya Ia tidak mengenal akan letih

 

Wajahnya tidaklah semuda sedia kala

Namun langkah jejak justru dititi semakin nyata

 

Ia tidak hanya memandang 2 sampai 3 tahun kedepan

Namun Ia memandang 2 sampai 3 abad jauh di masa depan

 

Berpetuah tidak hanya sebatas kosa kata semata tanpa makna

Namun tidaklah keluar dari lisannya kecuali ilmu di dalamnya

 

Sesekali tersenyum, namun berpetuah mesra nan tajam tentang peradaban

 

13 September, 2023 merupakan salah satu hari yang bertepatan dengan bertambahnya umur guru kita semua, Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi. Beliau merupakan sosok akademisi tulen yang mencerminkan ibangnya kekayaan turats dan penguasaan wacana pemikiran kontemporer secara bersamaan.

 

Rekam jejak perjuangan beliau sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Di usiannya yang tidaklah muda lagi, beliau masih sangat-sangat dibutuhkan peran dan kontribusinya dalam medan dakwah di tengah-tengah umat.

 

Penulis yakin bahwa beliau tidaklah terlalu membutuhkan banyak ucapan selamat secara langsung ataupun melalui media sosial. Bahkan bisa jadi beliau memang tidak membutuhkan ucapan-ucapan itu. Di masa-masa yang tidak lagi muda lagi, penulis melihat bahwa beliau lebih membutuhkan insan-insan muda yang komitmen dan berjuang melanjutkan visi perjuangan beliau.

 

Bukti lain bahwa beliau memang tidak ingin mendapat banyak pujian atau penghormatan adalah ketika Prof. Mudjia Rahardjo menyampaikan keluh kesahnya ketika idenya untuk membuat buku yang menjelaskan mengenai figur Prof. Hamid di mata murid, guru, ataupun sahabat tidak direspon oleh beliau kala itu (ketika pengukuhan).

 

Mohammad Syam’un Salim berpandangan bahwa tidak seperti ustadz kebanyakan, Prof. Hamid, baginya adalah seorang figur akademisi tulen. Meskipun begitu, beliau bukanlah tipikal cerdik cendekia yang menyendiri di menara gading. Syam’un sebut demikian, karena beliau adalah salah satu dari sekian banyak akademisi yang punya kemampuan berbicara dan menulis sama baiknya.

 

Ini berbeda sekali dengan cerdik cendikia pada umumnya, yang menonjol di satu sisi tapi lemah di sisi yang lain. Ada yang kuat berbicara berjam-jam tanpa teks, tapi tidak punya karya tulis, bahkan tidak bisa menulis dengan argumentatif apalagi analitis. Dalam fiqh dakwah kemampuan seperti ini sangat baik, tapi tidak cukup.

 

Sebab bagi akademisi yang punya tingkat kuriositas tinggi, suatu permasalahan lebih mengena bila dijawab melalui media tulisan. Begitu pula sebaliknya, ada yang kuat menulis, tetapi tidak berbunyi ketika dihadapkan pada realitas umat yang terkadang hobi untuk mendengar. Jadi kemampuan menulis dan berbicara seharusnya memang tidak untuk dipertentangkan, karena sama-sama punya andil di medannya masing-masing.

 

Mungkin karena kemampuan yang komplit ini, pesan dakwah beliau bisa dibilang diterima hampir di setiap lapisan masyarakat. Dari yang paling awam hingga akademisi yang menghendaki pembahasan secara daqīq. Prof. Hamid bisa berbicara dan menulis secara populis, dengan terlebih dahulu bercerita, membentangkan kisah-kisah, dan memperbanyak contoh-contoh. Tapi ketika menyasar pada tataran akademis, beliau bisa sangat fasih menjelaskannya secara konseptual, teoritis sampai pada basis terdalam: langsung dari sumber primernya.

 

Sebagai contoh, ketika menyinggung konsepsi agama di Barat, beliau memulainya dengan sebuah cerita renyah dan kontekstual di sana: sepak bola di Barat sebagai “its like religion”, atau dengan kisah bule yang terus mempersoalkan Tuhan. Ada juga penjelasan beliau tentang Timur dan Barat, tapi didahului dengan cerita mesin photocopy di perpustakaan yang macet. Lihatlah beberapa paragraf yang saya kutip dari karya beliau, Misykat, sebagai berikut:

 

Benar, ketika elemen-elemen Barat yang anti Kristen dipinjam anak-anak muda Muslim, maka mulut yang membaca syahadat itu akan mengeluarkan pikiran ateis. Tuhan yang Maha Kuasa, bisa menjadi “Tuhan yang Maha lemah”, al-Qur’an yang suci dan sakral tidak beda dengan karya William Shakespeare, karena ia sama-sama keluar dari mulut manusia (Misykat, hal. 32).

 

Sebuah penjabaran sederhana tanpa sedikitpun kehilangan konteks. Kutipan menarik lainnya:

 

muridnya, Herman Cohen, pun berpikir sama. “Tuhan hanya sekadar ide,” katanya. Tuhan hanya Nampak dalam bentuk mitos yang tidak pernah wujud. Tapi anehnya ia mengaku mencintai Tuhan. Lebih aneh lagi ia bilang “kalau saya mencintai Tuhan, maka saya tidak memikirkanNya lagi”. Hatinya ke kanan, pikirannya ke kiri. Pikirannya tidak membimbing hatinya, dan cintanya tidak melibatkan pikirannya (Misykat, hal. 43).

 

Sungguh paragraf yang indah.

 

Paragraf lain tidak kalah menariknya. Untuk yang ini, selain menjelaskan sebuah muatan konsep dengan bahasa sederhana, juga berhasil menyentil kesadaran pembacanya:

 

Sebagai contoh seorang mahasiswa yang menulis di tembok kampusnya “Yang permanen adalah perubahan”. Esok harinya mahasiswa yang kurang kritis menorehkan tanda kali (baca: silang, red) pas di tengah tulisan itu, tanda penolakan. Lusanya mahasiswa cerdas menulis di tembok lain, “Yang berubah tidak pernah permanen”. Di kampus lain seorang mahasiswa liberal-atheis menulis kalimat di tembok fakultas filsafat sebuah kampus negeri, “Tuhan telah mati kata Nietzsche”. Mahasiswa yang tidak setuju dan marah menulis komentar, “Yang nulis goblok”. Tapi esoknya mahasiswa yang cerdas menorehkan coretan di bawahnya “Nietzsche telah mati, kata Tuhan” (Misykat, hal. xix).

 

Paragraf yang satir tetapi tidak kehilangan bobot logika.

 

Di buku baru beliau bertajuk Minhaj: Berislam dari Ritual hingga Intelektual juga disuguhkan hal yang kurang lebih serupa. Tidak seperti tipikal buku Islamic Studies yang membebek Barat dan mencurigai karya besar para ulama, Minhaj justru dengan percaya diri mengangkat sisi-sisi turāts yang terlupakan dengan bahasa yang lebih mudah dicerna.

 

Prof. Hamid dalam karyanya ini (Minhaj) berhasil menggugah kesadaran kita, juga memberi pertanyaan penting, sudah sejauh mana keislaman dan keimanan kita berada? Islam dan Iman yang sudah inheren dalam diri seorang Muslim, nyatanya perlu dipertanyakan kembali, sambil perlahan-lahan membawanya ke tingkat yang lebih tinggi yaitu pada ranah intelektual atau worldview.

 

Pada akhirnya, karya beliau ini mampu menjawab kegelisahan umat akan pertanyaan, bagaimana mungkin seorang yang pergi haji berkali-kali, bisa terjerat kasus korupsi? Bagaimana mungkin negara dengan penduduk Muslim terbesar malah disebut sebagai negara terbelakang dan tertinggal?

 

Sebagaimana pula yang ditanyakan oleh Syaikh Muhammad Basuni Imran (1885-1976), seorang ulama dari Sambas Pontianak kepada Amir Syakib Arslan (1869-1946) “limādzā ta’akhkhara al-muslimūn wa taqaddama ghayruhum?”. Di luar itu, ada satu kutipan menarik dari buku Minhaj ini yang mempersoalkan musibah: sesuatu yang akhir-akhir ini dekat dengan kita. Tulis Prof. Hamid:

 

Caranya (bersyukur dalam menghadapi ujian) mudah, jika anda miskin, kesabarannya adalah tidak mencuri; bagi seorang perjaka, kesabarannya adalah tidak berzina; bagi orang kaya, kesabarannya adalah tidak sombong dan menghamburkan harta dst. Orang kaya yang bersyukur akan memberi, orang miskin yang syukur akan makan yang halal, orang perjaka yang syukur akan tetap taat beribadah (Minhaj, hal. 268).

 

Selain dalam bentuk yang sedikit populis, Prof. Hamid juga acapkali membicarakan persoalan umat dalam mimbar akademis yang serius tanpa kehilangan kosa kata dan jati dirinya sebagai seorang Muslim. Persis seperti yang diungkapkan oleh Hamka, bahwa seorang Muslim harus berpihak kepada kebenaran (maksudnya: kepada Islam). Beliau mampu memformulasikan pemahaman tentang agama di Barat dengan apik, tanpa mengurangi bobot ilmiahnya.

 

Sekadar menyebut contoh, dalam makalahnya bertajuk “Agama dalam Pemikiran Barat Modern dan Modern” tanpa canggung beliau mengutip beberapa sumber penting seperti Akbar S. Ahmed, Ernest Gellner, Dafid Griffin, Huston Smith, Nietzsche, Wittgenstein, Heidegger dan lain-lain. Dalam makalahnya, Prof. Hamid memperkenalkan Barat lewat mulut orang-orang Barat sendiri.

 

Beliau mengutip komentar Hugh J. Silverman tentang Postmodern yang bercirikan: meminggirkan (to marginalize), membatasi (delimit), dan mengesampingkan (decentre) kerja-kerja yang telah dilakukan oleh modernis, untuk menjelaskan karakter dari postmodernisme; hingga menyitir penjelasan Habermas, James E. Crimmins tentang karakteristik agama di Barat yang disandingkan dengan mitos (sesuatu yang irrasional dan takhayul) selain bercirikan desakralisasi yang oleh Weber disebut sebagai disenchantment.

 

Kemampuan literasi dan orasi yang sama baiknya ini, ditopang dengan bacaan beliau yang sangat luas. Belum lagi perjalanan intelektual beliau yang juga tidak mudah untuk diikuti. Beliau belajar di Barat, termasuk berguru secara langsung kepada seorang cendekiawan karismatik yang disegani: Syed Muhammad Naquib al-Attas. Maka, ketika Prof. Hamid berbicara mengenai Barat dengan segala macam diskursus yang mengelilinginya, akan terdengar proporsional, tepat, dan sangat otoritatif. Rasanya perlu dicetak tebal, bahwa dengan kemampuan dan perjalanan intelektual beliau yang ‘sangat Barat’ tadi, tidak membuatnya buta arah, bersikap inferior, membebek, kehilangan sikap kritis apalagi kehilangan identitas, nilai dan cara pandang terhadap dunia sebagai seorang Muslim. Ini berkebalikan dari beberapa orang yang justru memilih apresiatif secara taken for granted terhadap Barat, tanpa sedikitpun disertai daya kritis dan telaah berimbang.

 

Di akhir,

Nilai refleksi inilah yang seharuskan kita ingat dan telaah di momen bertambahnya usia kehidupan beliau. Sudah seberapa serius kita mengkaji pemikiran dan gagasan beliau? Sudah seberapa kaafah kita mensitasi diksi-diksi pemikiran beliau ketika berdiskusi dalam hal pemikiran saat ini? Sudah seberapa dalam pemahaman kita dalam memahami setiap ide gagasan yang beliau ukirkan?

 

Jangan sampai kita memuji dan menghormati habis-habisan beliau, namun tiada sedikitpun ide dan visi perjuangan beliau yang tersemat dan terpatri dalam diri kita. Bukan itu yang beliau harapkan dan bukan itu yang beliau inginkan. Beliau sudah lebih dari cukup menerima penghormatan dan ucapan selamat, namun beliau akan lebih menghargai apabila insan-insan muda mewarisi dan menggengam beragam visi dan perjuangan yang beliau telah perjuangkan selama ini.

 

Tahniah Prof. Hamid.

Oleh: Krisna Wijaya dan kembali merepublish tulisan Mohammad Syam’un Salim.

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *