sejarah
Ruang Buku

Nilai-nilai Islam dalam Sejarah itu Sirna

Oleh: Krisna Wijaya

 

Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno pernah menyampaikan bahwa, “Jangan pernah melupakan sejarah. Ini akan membuat dan mengubah siapa diri kita.”

 

Berbicara mengenai sejarah, Dr. Adian Husaini dalam sebuah seminar bedah buku karya beliau yang berjudul Pendidikan Islam: Mewujudkan Generasi Gemilang Menuju Negara Adidaya 2045 di Jogja juga pernah menegaskan bahwa pendidikan sejarah adalah mata pelajaran inti yang akan menentukan masa depan sebuah peradaban bangsa ke depannya.

 

Karena sejarah yang diajarkan di institusi pendidikan itulah yang akan menentukan keadaan suatu bangsa kedepannya. Hal ini bukanlah sebuah opini tanpa dasar gagasan semata, namun hal ini telah terbukti fakta kebenarannya dalam goresan kisah sejarah peradaban-peradaban besar di dunia.

 

Imam Malik Rahimahullah misalnya, beliau pernah menyampaikan bahwa,

 

  “لا يصلح آخر هذه الأمة إلا بما صلح به أولها”

 

Artinya: “Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang membuar generasi awalnya menjadi baik”.

 

Hal itu menunjukkan bahwa sebuah sejarah benar-benar memegang peran penting dalam kebangkitan sebuah perubahan ke depannya. Karena apapun yang terjadi hari ini akan dinilai sebagai sejarah bagi hari esok, dan hari esok haruslah tetap belajar dari pelajaran hari ini.

 

Adab Pendidikan Sejarah

Kembali mengingat bahwa Prof al-Attas melalui karyanya Historical Fact and Fiction menjelaskan bahwa masuk dan berkembangnya Islam pertama kali di Nusantara adalah sebuah babak terpenting dalam sejarah perkembangan peradaban Melayu Nusantara.

 

Segala penulisan sejarah yang terjadi sejatinya tidaklah terlepas dari worldview penulisnya. Sejarawan yang memiliki basic belief agama Islam, maka dia akan menulis sejarah dengan perspektif agama Islam pula. Begitu pula dengan sejarawan yang memiliki basic belief lainnya.

 

Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka atas berkat rahmat Allah dan menjadikan aspek Ketuhanan sebagai dasar sila pertama dalam Pancasila, seharusnya benar-benar memperhatikan sejarah andil Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

 

Meskipun Indonesia merupakan negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia, namun sampai saat ini berbagai upaya sudah dilakukan agar simbol-simbol negara dan simbol-simbol negara jauh dari nafas keislaman.

 

Masyarakat Indonesia diajak dan dipaksa untuk percaya bahwa Islam adalah agama pendatang dan tidak cocok dengan kultur budaya Indonesia, bahkan dijadikan sebagai simbol-simbol negara.

 

Pemaksaan itu dilakukan setidak-tidaknya dengan tiga cara menurut Juri Lina dalam karyanya Architects of Deception. Ketiga cara tersebut adalah dengan mengaburkan sejarahnya, menghilangkan dan menghancurkan bukti-bukti sejarah bangsa itu sendiri agar tidak bisa dibuktikan asal-usul kebenarannya, dan terakhir memutuskan hubungan sebuah bangsa dengan leluhurnya melalui cara penggiringan asumsi bahwa leluhur mereka itu primitif dan bodoh.

 

Dengan cara-cara di ataslah musuh-musuh Islam benar-benar berusaha menjungkirbalikkan fakta kebenaran mengenai sejarah Islam di Indonesia. Dengan upaya meniadakan peran Islam, mereka berusaha menempatkan Hindu-Budha sebagai jati diri bangsa Indonesia.

 

Dalam sebuah majalah Media Hindu misalnya, menulis bahwa, “Kembali menjadi Hindu, bila Indonesia ingin berjaya kembali seperti Majapahit.” Kemudian tertuliskan lagi, “Namun atas dasar pendapat tersebut di atas, mustahil suatu bangsa menjadi maju apabila mayoritas rakyatnya masih menganut agama yang faktanya menggusur budaya dan nilai-nilai luhur bangsa.”

 

Majalah ini tentunya menggambarkan dengan gamblang bahwa agama Islam dianggap sebagai sebuah agama yang menggusur nilai-nilai dan budaya asli bangsa Indonesia. Prof. Hamka dalam Tafsir al-Azhar ketika menguraikan makna QS al-Maidah ayat 57-63 juga menguraikan mengenai stategi yang dilakukan oleh misionaris Kristen dan orientalis dalam menyerang Islam.

 

Prof. Hamka menguraikan bahwa, “Diajarkan secara halus apa yang dinamai Nasionalisme, dan hendaklah Nasionalisme diputuskan dengan Islam. Sebab itu bangsa Indonesia hendaklah lebih mencintai Gajah Mada daripada Raden Patah… .”

 

Dalam rangka memastikan data tersebut, Dr. Adian Husaini dalam suatu waktu pernah menyebarkan ribuan quisioner ke lembaga-lembaga pendidikan Islam untuk mempertanyakan mengenai kepastian waktu peradaban Indonesia mencapai puncaknya sebelum masa kemerdekaan.

 

Fakta jawaban yang didapatkan membuktikan bahwa hampir semua santri, siswa, bahkan guru menjawab bahwa puncak peradaban Indonesia adalah saat kepemimpinan Hayam Wuruk dan Gajah Mada yang dinilai mampu menyatukan Nusantara waktu itu.

 

Pemikiran-pemikiran mereka ini tentunya tidak bisa mutlak disalahkan. Sebab, pemikiran mereka ini adalah produk dari proses pengajaran pendidikan sejarah saat mereka duduk di bangku sekolah.

 

Dalam sebuah buku Sejarah untuk Kelas XI terbitan Grafindo pada 2006 misalnya, penulis ketika membahas keruntuhan Majapahit menyebutkan bahwa, “Majapahit hancur karena perselisihan antara keluarga raja dan diakhiri dengan serangan pasukan Kerajaan Islam Demak yang dipimpin Raden Patah.”

 

Dari sini, kira-kira opini semacam apa yang ingin disampaikan kepada siswa dari penjelasan dalam buku ini? Tentu jawabannya adalah opini yang menggambarkan bahwa Islam adalah suatu agama yang memecahbelah persatuan yang telah diperjuangkan oleh Gajah Mada.

 

Contoh-contoh lain tentunya masih banyak akan kita jumpai di buku-buku yang diajarkan di bangku sekolah anak-anak kita. Oleh karena itu, seyogyanya kita benar-benar memperhatikan mengenai isi sejarah seperti apa yang akan diajarkan pada anak-anak atau saudara-saudara kita di sekolah.

 

Kita harus memperhatikan, apakah pendidikan sejarah kita benar-benar berorientasi dalam upaya membangun peradaban atau justru melemahkan peradaban Indonesia. Karena sejatinya bangsa yang lemah adalah bangsa yang tidak mengenal sejarah dibalik kebangkitannya sendiri. Dan Islamlah kunci kebangkitan bangsa Indonesia.

 

Jadi, sejarah yang berorientasi pada meniadakan andil Islam terhadap perjuangan Indonesia, maka itulah sejarah yang berpotensi melemahkan kebangkitan bangsa Indonesia.

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *