Kesetaraan Gender dan Studi Islam
Risalah Islam hadir dengan tidak merendahkan satu jenis kelamin. Buktinya, para muslimah zaman Islam tidak ada yang protes dengan syariat Islam. Justru mereka merasa lebih aman dan nyaman. Tidak sama dengan di Barat dimana pernah terjadi gelombang protes keras kaum wanita hingga lahir paham feminisme.
Para pejuang kesetaraan gender menyerang ajaran syariat Islam. Tuduhannya; tidak adil, pro-laki-laki, patriarki, dan lain-lain. Sasaran kritiknya adalah ajaran aurat, waris, talaq, mahar. Bahkan, tentang kejadian asal manusia juga dikritik.
Persepsi yang keliru di kalangan pejuang gender equality adalah dengan mengukur derajat manusia yang ditentukan secara materi, dan tata urutan. Atas lebih utama dari bawah. Depan lebih utama dari belakang dan seterusnya.
Dalam persoalan manusia yang diciptakan Allah pertama kali, para pejuang gender beranggapan bahwa Adam ‘alaihissalam bukanlah manusia pertama. Penafsiran ayat Al-Quran yang mengarah pada hal tersebut dianggap sangat diskriminatif.
Adapun kebanyakan pakar tafsir dan ulama menyepakati bahwa Adam lah manusia pertama yang diciptakan Allah, seperti penuturan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 30 dan 31. Kemudian penegasan bahwa perumpamaan Isa dan Adam itu sama-sama merupakan mukjizat dan tanda kekuasaan
Permasalahan penciptaan ini tidak berhubungan dengan kualitas manusia. Karena kualitas manusia tidaklah ditentukan oleh jenis kelaminnya juga oleh urutan penciptaannya. Nabi Muhammad SAW, yang diciptakan Allah jauh setelah Nabi Adam dan nabi-nabi lain utusan-Nya, menjadi utusan pamungkas dan nabi akhir zaman, justru ditahbiskan dan dinobatkan sebagai manusia terbaik dan pimpinan para nabi dan rasul.
Perwalian dan Hak Talak
Adanya perwalian dan mahar dalam pernikahan, menurut para pejuang gender dianggap sebagai bentuk diskriminasi lain yang harus diamandemen aturannya. Padahal, mahar adalah kepemilikan penuh bagi istri yang tak boleh diotak-atik oleh suami atau pihak lainnya. Justru Islam menjadikannya simbol penghormatan dan pemuliaan. Mahar bukanlah sebuah simbol hegemoni atau “harga” seorang perempuan.
Talak atau perceraian juga diklaim sebagai bentuk lain perlakuan diskriminatif Islam terhadap perempuan atau bentuk hegemoni lain laki-laki terhadap perempuan. Karena menurut mereka, laki-laki dan perempuan tidak memiliki hak talak yang setara. Menurut para pejuang kesetaraan gender, bentuk keadilan yang mutlak adalah jika hak perceraian hanya bisa dilakukan oleh pengadilan. Dengan demikian, pelucutan hak talak dari laki-laki merupakan bentuk keadilan dan kesetaraan gender menurut mereka.
Talak adalah salah satu solusi disharmonisasi dalam rumah tangga, bahkan merupakan solusi terakhir yang ditempuh jika solusi alternatif lainnya tidak menghasilkan solusi yang memuaskan kedua pihak yang bertikai. Meskipun hak talak ini aslinya dipegang laki-laki, tapi diikuti batasan dan aturan yang sangat ketat.
Karena ada kondisi tertentu yang tidak diperbolehkan menjatuhkan talak pada istri, demikian halnya kewajiban nafkah dan tempat tinggal tidak dengan otomatis berhenti seketika bagitu talak dijatuhkan pada sang istri. Secara normal dan umumnya pasangan, laki-laki yang selama ini menafkahi akan menakar-nakar ulang sebelum menjatuhkan pilihan antara mentalak atau menahannya.
Tentu berbeda kasusnya jika penyikapannya hanya memperturutkan perasaan yang emosional. Biasanya perempuan lebih emosional dan lebih sering menuntut untuk dipulangkan ke rumah orang tuanya. Bahkan dalam kondisi ia mampu menyumbangkan pemasukan bagi keluarga sekalipun. Maka pelucutan sepihak seperti di atas adalah bentuk kezhaliman.
Secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di antaranya:
- Mencari justifikasi teologis yang mendukung ide kesetaraan gender untuk menolak teks-teks terkenal yang digunakan untuk menindas
- Kritik terhadap gaya bahasa dan perspektif patriarkhi terhadap teks-teks
- Menampilkan perspektif perempuan dalam teks-teks wahyu.
- Kritik sejarah terhadap teks-teks wahyu yang Sebelumnya, metode-metode tersebut telah digunakan feminis Barat untuk membongkar pemahaman terhadap teks-teks Bibel yang patriarkis.
Jadi, tujuan studi Islam berbasis gender sebenarnya untuk menata ulang pemahaman teks- teks agama yang dituduh sebagai sumber kekerasan terhadap perempuan. Bahkan, tidak sedikit aktivis gender yang melecehkan fikih dengan menuduhnya menjadi penyebab utama terjadinya ketidakadilan dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Aturan ibadah yang disusun dalam kitab-kitab fikih dicurigai sangat diskriminatif karena melarang mutlak perempuan menjadi imam bagi laki-laki, menjadi muazin, khatib Jumat dan lain-lain.
Dalam Islam dan tradisi masyarakat Indonesia, perempuan ditempatkan pada tempat terhormat, sebagai hamba Allah yang setara kedudukannya dengan laki-laki, meskipun dengan peran yang berbeda. Kekeliruan dasar dan arah studi gender dalam studi Islam akan berdampak pada hilangnya adab pribadi, keluarga, dan masyarakat. Bukan manusia yang adil dan beradab yang dituju, tetapi manusia tak beradab.
Di antara bukti Islam menghargai dan menghormati perempuan, di dalam Al-Qur’an secara khusus terdapat sebuah surat bernama Surat an-Nisa’, wasiat terakhir Nabi Muhammad SAW adalah berkaitan dengan perlakuan yang baik terhadap perempuan, serta banyak kesempatan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memerinci penempatan mulia serta menjunjung martabat perempuan. Maka, kita tak menafikan perjuangan dan kegigihan para pejuang gender, tetapi yang kita perlu waspadai jika aksi tersebut berbau politis dan ideologis, dengan membawa misi anti kemapanan, relativisme serta mendobrak nilai dan tatanan agama serta memerangi kemapanan keluarga dalam masyarakat.
Kritik Atas Hermeneutika (Feminis)
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, salah satu pemberontakan kaum feminis terhadap doktrin-doktrin Kristen yang dinilai menindas wanita adalah dengan merombak metode penafsiran Bible, yang dikenal sebagai metode hermeneutika feminis. Kaum feminis Kristen menggunakan metode ini untuk mengubah ketentuan-ketentuan agama Kristen yang mereka pandang menindas kaum wanita.
Jika ditelaah, banyak metode penafsiran kaum feminis terhadap al-Quran sebenarnya merupakan jiplakan terhadap metodologi serupa kaum feminis dalam Kristen dalam menafsirkan Bibel. Di sini ada dua masalah yang perlu ditelaah dengan cermat. Pertama, validitas dan kebenaran konsep ‘gender equality’ itu sendiri. Kedua, perbedaan sifat antara teks Al-Quran dan teks Bible.
Berbeda dengan al-Quran, Bible memang ditulis oleh para penulis Bible, yang menurut konsep Kristen, mendapat inspirasi dari Tuhan. Meskipun demikian, diakui, bahwa unsur- unsur personal dan budaya berpengaruh terhadap para penulis Bible. Karena yang dianggap merupakan wahyu Tuhan adalah makna dan inspirasi dalam Bible – dan bukan teks Bible itu sendiri – maka kaum Kristen tetap menganggap terjemahan Bible dalam bahasa apa pun adalah firman Tuhan (dei verbum). Dalam tradisi penafsiran Bible, sebagian teolog melakukan kontekstualisasi yang ekstrim, seperti Bultmann, yang menganggap Bible sebagai mitos. Dengan ini, hampir setiap bentuk kontekstualisasi adalah mungkin, karena ada banyak cara untuk memahami sejarah.
Dengan karakter Bible semacam itu, maka para pengaplikasi hermeneutika untuk al- Quran senantiasa — baik secara terbuka atau tidak — berusaha menempatkan posisi dan sifat teks al-Quran sebagaimana halnya teks Bible. Bahwa, teks al-Quran adalah teks budaya, teks yang sudah memanusiawi, dan sebagainya. Salah satu pelopor usaha ini adalah Nasr Hamid Abu Zayd, yang terkenal dengan pendapatnya bahwa al-Quran adalah ‘produk budaya’ (muntaj tsaqafi/cultural product).
Sebagai contoh, larangan pernikahan wanita muslimah dengan pria non-Muslim dalam QS Mumtahanah:10, yang dengan tegas menyatakan:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kami telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu mengembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.”
Tetapi, dengan pendekatan kontekstualisasi, makna ayat tersebut bisa berubah total. Aktivis gender dan pluralisme Agama, Musdah Mulia, menulis tentang ayat ini: “Jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu, larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah peperangan antara kaum Mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaksudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu, ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud tercabut dengan sendirinya.”
Argumentasi “kontekstual” itu sangatlah lemah dan keliru. Dengan logika semacam itu, maka ketika damai, seorang Muslimah halal menikah dengan laki-laki kafir. Lalu, ketika perang, nikahnya jadi haram. Dan jika damai lagi, maka nikahnya halal lagi. Argumentasi “kontekstual” semacam ini tentunya akan menjadi pemikiran yang “liar” yang tidak pernah terjadi dalam tradisi keilmuan Islam sebelumnya.
Oleh: Ahmad Kholili Hasib