Hamid Corner

Kebebasan Menista atau Menista Kebebasan?

Hamid Fahmy Zarkasyi – Direktur Utama INSISTS

Aktivis dan pendukung Liberalisme yang tergabung dalam AKKBB pada tanggal 27 Januari 2010 lalu mengajukan usulan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar Peraturan Presiden No1/ PNPS/1965 yang sudah diundangkan melalui UU No 5/1969 tentang larangan penistaan agama dicabut.

 

Jika UU ini benar-benar dicabut maka agama-agama baru dapat muncul. Tidak ada lagi hukum resmi bagi tindakan penghinaan terhadap agama. Apakah benar kebebasan sudah tidak perlu diatur lagi dalam undang-undang? Apakah manusia zaman sekarang sudah dewasa dan dijamin tidak akan menista agama lagi?

 

Nampaknya usulan kelompok liberal tersebut selain berdasarkan UUD 45 juga dapat dipastikan berdasar pada pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diakui undang-undang hak asasi manusia dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

 

ICCPR mengakui hak bebas berbicara sebagai hak untuk berpendapat tanpa gangguan. Namun sebenarnya ketika DUHAM itu disusun tidak satu pun pihak agamawan, apalagi Islam, dilibatkan. Kini kebebasan berbicara itu berbenturan dengan kebebasan beragama dengan segala rukun-rukunnya.

 

Suara kebebasan itu memang datang dari Barat. Sebelum DUHAM, wacana kebebasan sudah menjadi topik pembahasan para pemikir. Bagi yang pernah belajar filsafat akan mengenang Socrates (470-339 SM) orang yang  menyuarakan kebebasan.

 

Namun ajaran kebebasan yang dibawa filsuf ini dianggap merusak moral anak muda Athena dan telah mengakibatkan kegusaran pada politisi dan pemimpin agama atau kepercayaan Yunani. Ia akhirnya dihukum mati.

 

John Stuart Mill mengartikan kebebasan berbicara menjadi kebebasan menyebarkan informasi, pendapat, termasuk mencari, menerima dan memberi informasi dan ide. Di Prancis telah ada Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warganegara (1789), yang merupakan dokumen kunci Revolusi Perancis.

 

Akan tetapi kebebasan yang dimaksud di situ adalah kebebasan yang bertanggung jawab yang diatur oleh hukum. Artinya sejak awal sudah ada kesadaran bahwa sebesar apapun hak kebebasan seseorang untuk berbicara, ia akan dibatasi kebebasan orang lain.

 

Kebebasan tidak boleh menghina, merendahkan, melecehkan, menyudutkan ras, agama dan kepercayaan lain. Juga tidak boleh merusak kehormatan atau melukai perasaan orang lain.

 

Pemerintah Jepang pernah memperketat kebebasan berbicara dan media. Akibatnya, gempa berskala 7.9 richter yang mengorbankan ribuan orang tidak dapat dilaporkan. Kasus korupsi, bunuh diri pasangan juga tidak dapat dilaporkan media.

 

Setelah perang Dunia ke II  kebebasan mulai dibuka. Namun yang muncul justru terbitnya buku, komik, dan gambar porno yang dipajang di supermarket dan dapat dibeli bebas oleh anak-anak.

 

Akhirnya, tahun 1995 surat kabar terkemuka Asahi Shimbun memberi julukan Jepang sebagai “Porn Paradise”. Karena semua pihak tidak mampu membendung kebebasan, berbagai pihak bertanya “Suara siapa yang akhirnya didengar?”

 

Artinya siapa yang akan ditaati kalau bukan undang-undang? Dalam perjalanan sejarah kebebasan telah melampaui batasnya dan dalam kaitannya dengan agama yang terjadi adalah menista.

 

Pada tahun 1951 misalnya, Roberto Rossellini seorang neo-realist membuat film berjudul The Miracle. Film yang berdurasi 40 menit itu bercerita tentang Saint Joseph yang menghamili gadis petani yang percaya bahwa dirinya adalah Bunda Maria.

 

Ini menurut pihak gereja adalah penghinaan. Film lain yang dianggap menista agama adalah The Last Temptation of Christ and Monty Python’s Life of Brian.

 

Pada tahun 1966, seorang penulis Belanda bernama Gerard Reve dituduh melakukan penistaan agama karena sebuah prosa yang ia tulis menggambarkan percintaan dengan Tuhan, berinkarnasi selama tiga tahun sebagai keledai.

 

Andres Serrano seorang fotografer merekayasa sebuah gambar seakan ada salib yang terbenam dalam air kencing. Gambar seni itu diberi judul Piss Christ. Demikian pula lukisan Chris Ofili yang berjudul Black Madonna yang menggambarkan Bunda Maria berkulit hitam dikelilingi gambar-gambar dari film-film blaxploitation dan men close-up kemaluan wanita dari majalah porno lalu ditempelkan. Ini juga penghinaan.

 

Tahun 2004, sebuah website di Amerika membuat kartun berjudul Jesus Dress Up. Di dalamnya menggambarkan Yesus yang disalib dengan berpakaian celana pendek dan diberi baju piyama setan.

 

Lebih dari 25.000 orang protes keras atas kartun tersebut. Kasus buku kartun Gerhard Haderer tahun 2003 di Yunani berjudul The Life of Jesus; Ekspressi seni Marithé and François Girbaud tahun 2005 yang memparodikan lukisan keagamaan Leonardo The Last Supper juga dipersoalkan.

 

Kemudian yang paling mutakhir terjadi tahun 2008, ketika festival punk di Linköping, Swedia membuat poster yang menggambarkan setan yang sedang (maaf) memberaki Yesus di tiang salib. Di dalam poster itu ditulis “Punx against christ”.

 

Pimpinan redaksi koran yang menerbitkan poster tersebut mendapat ancaman hukuman bunuh. Itu semua adalah penistaan agama atas nama kebebasan berbicara, berpendapat, berkreasi seni dan berekspresi.

Penistaan serupa juga dialami oleh umat Islam. Tahun 1989 Salman Rushdie, warga Inggris keturunan India, menulis novel berjudul The Satanic Verses yang isinya menghina Nabi dan Al-Qurʾan.

 

Tahun 1997 Tatiana Soskin tertangkap di Hebron ketika mencoba menempelkan gambar Nabi Muhammad dalam bentuk babi sedang membaca Al-Qurʾan. Pada tahun 2002 peraih hadiah Pulitzer, Doug Marlette, menyebarkan gambar Nabi Muhammad yang sedang mengendarai truk yang membawa roket nuklir.

 

Tahun 2004 Theo van Gogh dan Ayaan Hirsi Ali produser film asal Belanda membuat film berjudul Submission. Film berdurasi 10 menit itu menggambarkan kekerasan terhadap wanita dalam masyarakat Islam.

 

Dalam film itu ditunjukkan empat wanita bugil yang mengenakan baju transparan. Pada tubuh wanita itu ditulis ayat-ayat Al-Qurʾan. Tahun 2005 Runar Sogaard asal Swedia menulis bahwa Nabi Muhammad mengindap kelainan seks (paedaphile) karena menikahi Aisha di bawah umur.

 

Pada tahun yang sama surat kabar Denmark Jyllands-Posten menerbitkan kartun Nabi Muhammad yang melecehkan. Setahun kemudian di Jerman seorang aktivis bernama Manfred van H mengirim paket ke masjid-masjid dan media berisi kertas toilet yang diberi tulisan ayat-ayat Al-Qurʾan.

 

Tahun 2007 di Swedia seorang seniman bernama Lars Vilks, dalam sebuah pameran seni menampilkan gambar yang bertema The Dog in Art dengan menggambarkan Nabi Muhammad dikelilingi anjing.

 

Kemudian yang paling mutakhir adalah ulah politisi Belanda Geert Wilders dengan filmnya yang berjudul Fitnah. Film itu menggambarkan kekerasan dalam Islam yang dianggap ancaman bagi Barat.

 

Orang-orang Sikh juga mengalami penistaan yang sama. Di tahun 2004, sebuah teater di Birmingham berencana untuk menampilkan pertunjukan yang berjudul Behzti artinya pencemaran atau aib.

 

Cerita yang ditulis oleh Gurpreet Kaur Bhatti asal India itu menggambarkan kekerasan seksual dan pembunuhan di kuil Sikh. Karena dianggap penistaan dan diprotes maka pertunjukan itu batal dilaksanakan.

 

Tentu yang tahu dan merasa bahwa suatu pembicaraan, tulisan, gambar atau lainnya merupakan penistaan terhadap sebuah agama adalah pemeluk agama yang dinista itu.

 

Masalahnya di Barat hak agama untuk berkeberatan tidak mendapat tempat yang semestinya. Dari seluruh penistaan itu tidak semua atau bahkan mungkin tidak ada yang sampai ke pengadilan dan diberi hukuman. Padahal banyak negara yang memiliki undang-undang anti-penistaan.

 

Di negara bagian Massachusetts di Amerika Serikat misalnya terdapat undang-undang yang melarang penistaan. Babnya diberi judul “Kejahatan terhadap Kesucian, Moralitas, Kepantasan dan Ketertiban.” Pasal 36 berbunyi: Barang siapa dengan sengaja menistakan nama suci Tuhan dengan mengingkari, memaki atau dengan sengaja mencela Tuhan, ciptaan-Nya, kekuasaan-Nya atau akhir dari dunia, atau dengan sengaja memaki, mencela Yesus atau Roh Kudus, atau dengan memaki firman Tuhan yang terdapat dalam kitab suci harus dihukum penjara tidak lebih dari satu tahun atau didenda tidak lebih dari tiga ratus dollar….”.

 

Di negara-negara Islam kebanyakan penistaan berakhir di pengadilan, Tahun 1994 Taslima Nasrin di Bangladesh difatwa hukum mati karena pernyataannya di koran The Statesman yang berbunyi bahwa ”…Al-Qurʾan harus direvisi secara menyeluruh.”

 

Tahun 1998 Ghulam Akbar, seorang penganut Syiah telah dihukum mati karena mengucapkan kata-kata penghinaan terhadap Nabi Muhammad. Dan tahun 2000 pengadilan Lahore juga memutuskan hukuman mati terhadap Abdul Hasnain Muhammad Yusuf Ali karena melecehkan nama Nabi Muhammad. Di Mesir seorang yang mengaku Nabi langsung dibunuh dan selesai.

 

Harus diakui bahwa penistaan telah menimbulkan keresahan masyarakat dan berakhir dengan ancaman bunuh dan bahkan sudah banyak yang terbunuh di luar jalur hukum. Logikanya, jika Muntazar al-Zaidi yang melempar George W.

 

Bush dengan sepatu dibawa ke penjara, wajar jika penghina Tuhan dan Nabi dihukum mati. Sekiranya hukum tidak dapat membekuk para penista itu, masyarakat akan menegakkan hukum dengan caranya sendiri. Theo Van Gogh dibunuh oleh Mohammad Bouyeri pada tanggal 2 November 2004 di Amsterdam.

 

Pembunuhnya lalu menempelkan tulisan pada dada Van Gogh yang bernada ancaman terhadap pemerintah Belanda, Yahudi dan Hirsi Ali. Khomeini mengeluarkan fatwa hukuman mati terhadap Salman Rushdie.

 

Jadi kebebasan berpendapat dapat dilindungi dan dibela. Namun pada satu titik tertentu memang tidak dapat dibela lagi. Titik batasnya dengan gamblang disampaikan Hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes Jr.

 

Ia menyatakan bahwa proteksi terhadap kebebasan berbicara yang paling ketat sekalipun tidak dapat melindungi seseorang yang bohong untuk berteriak “kebakaran!” dalam sebuah gedung bioskop dan mengakibatkan kepanikan. Dalam bahasa agama, orang dapat melindungi kebebasan bicara tetapi tidak dapat melindungi kebebasan menista agama.

 

PBB melalui UNHRC (United Nation Human Rights Council) sudah sering sekali meluluskan pasal larangan penistaan agama (Defamation of Religion). Terakhir, tahun 2009, setelah mendengar pernyataan Zamir Akram, delegasi dari Pakistan, bahwa penistaan agama dapat dan telah mengakibatkan kerusuhan.

 

UNHRC meluluskan resolusi yang menyatakan bahwa “penistaan agama sebagai penistaan hak asasi manusia”.  Namun, pada hari yang sama yakni tanggal 26 Maret 2009, lebih dari 200 organisasi masyarakat sipil (civil society organizations) yang berasal dari 46 negara mendesak UNHRC untuk menolak resolusi yang melarang penistaan agama.

 

Kemudian ternyata organisasi masyarakat sipil itu terdiri dari kelompok Muslim, Kristen dan Yahudi (tentu yang liberal), serta kelompok Sekular, Humanis dan Atheis. Nampaknya aspirasi inilah yang dibawa AKKBB ke MK.

 

Walhasil, sebenarnya sebagian besar kasus penistaan Nabi, Tuhan dan kepercayaan agama-agama di Barat bukanlah hasil murni kebebasan berbicara, berpendapat atau berkespresi untuk tujuan-tujuan kreatif yang secara tidak sengaja menista agama.

 

Akan tetapi, gambar-gambar, film, pernyataan dalam kasus-kasus di atas murni merupakan kebencian terhadap agama. Kalau mereka bebas menista agama maka kebebasan menjadi terkotori. Jadi sejatinya kebebasan menista itu pada akhirnya malah menista kebebasan.

 

Repost tulisan INSISTS

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *