Ketika Impianku Ditertawakan
Tidak ada di antara kita yang tidak memiliki impian kan? Masih teringat ketika kita kecil dengan polosnya masing-masing dari kita berharap menjadi dokter, polisi, pilot, tentara, dll., dengan antusiasnya.
Seberjalannya waktu, ternyata kita semakin mendewasa dan harapan kita hanya sebatas bahagia ketika hidup tidak dihadang dengan masalah yang berarti. Kehidupan sekitar ternyata semakin mendewasakan pola pikir kita.
Bahkan tidak jarang ketika kita berharap untuk kembali menjadi anak-anak untuk sekedar tertawa lepas tanpa terbayang dengan beban realita dunia. Itukah dirimu saat ini? Mungkin perjalananmu saat ini berat, mungkin tak banyak orang yang mengetahui dukamu.
Mungkin diam-diam dirimu menangis dan menyalahkan diri sendiri seraya berkata, “Betapa tidak bergunannya diriku ketika dibandingkan yang lain.” Kita mulai menjudge diri sendiri sebagai sosok yang tidak berguna, tak memiliki prestasi, dan tertinggal dibandingkan orang lain.
Tak jarang kita melihat teman-teman dekat kita telah mencapai pencapaian yang jauh melebihi pencapaian yang kita dapatkan saat ini. Tak jarang juga kita mulai menilai bahwa diri kita jauh tertinggal di bandingkan yang lainnya.
Itulah sekurang-kurangnya yang kurasakan di awal tahun 2021 ketika diriku menginjak semester 3 kala itu. Rencanaku pada awalnya sebatas lulus dengan skripsi yang baik dan cepat saja nampaknya mulai goyah (doakan semoga karya akhir kami bermanfaat).
Goyah karena nampaknya terfokus pada skripsi baik dan cepat saja akan terasa hampa dan kurang. Hingga pada akhir pada bulan September 2021, diriku pertamakali menjajaki dunia kepenulisan artikel saat itu.
Saat itu diriku merasa bahwa menulis artikel adalah kemampuan potensial dan bisa kubanggakan dalam diriku. Seberjalannya waktu, satu demi satu hingga mendekati angka ratusan artikel mulai tergores melalui ketikan tangan penulis ulung ini.
Di saat itulah kupikir titik kepenulisan tertinggi dalam karir akademikku sedang berlangsung. Namun di tengah-tengah euforia kepenulisan artikel yang begitu kubanggakan kala itu, beberapa manusia berkomentar,
“Jangan cuma nulis artikel di website doang”
“Nulis di depan laptop apasih gak jelas”
“Ngetik-ngetik terus hasilnya apasih”
“Lebih tinggi kasta koding dari pada nulismu” dll.
Tidak hanya dari mahasiswa, dari dosen pun juga ada yang memberikan komentar tersebut. Barangkali memang waktu itu diriku terlalu berpuas diri dengan pencapaian sebagai penulis artikel website hingga melupakan bahwa tingkatan dalam kepenulisan akademik tidak cukup apabila hanya menulis di web saja.
Komentar-komentar itu memang menyakitkan, namun diriku sudah memaafkan dan tidak mempermasalahkan hal itu lagi. Hanya saja diriku tidak akan pernah lupa dengan moment di mana angkasa kepenulisanku dilukai kala itu.
Beragam komentar-komentar itu akhirnya megningatkanku bahwa ayah ideologisku, Prof. Hamid di samping gemar menulis artikel di media masa ternyata beliau juga seorang penulis beragam karya ilmiah yang begitu handal.
Di sini diriku mulai menyadari bahwa dimensi menulis artikel saja tidaklah cukup saat ini. Perlu upaya untuk menyeimbangkan kepenulisan artikel dengan kepenulisan ilmiah di saat yang bersamaan.
Seberjalannya waktu, tepatnya di awal semester 7 kemarin, diriku kemudian memutuskan untuk mengumpulkan seluruh naskah yang berceceran di laptop peradaban milikku dan kemudian menyempurnakan naskah tersebut.
Waktu itu naskahku yang membahas mengenai zona al-Qur’an terbit pertamakali di kanal Jurnal Cerdik Universitas Brawijaya. Publishnya naskahku di jurnal kala itu begitu membuat diriku bahagia tidak terkira. Walaupun jurnalnya sebatas terindeks Garuda, namun pencapaian itu telah membuat diriku bahagia.
Naskah demi naskah akhirnya kugoreskan, hingga pada akhirnya diriku menjadi sangat ambisius terhadap dunia publikasi. Hujatan dan komentar negatif yang dahulu menghampiriku menjadi salah satu penyemangat untukku terus berkarya.
Bukan semata-mata untuk membungkam beragam cemoohan itu, namun untuk tujuan keabadian yang lebih esensi darinya. Bulan demi bulan kemudian berlalu, tidak terasa puluhan karya akhirnya terpublikasi dalam beragam jurnal yang berbeda dan pulihan karya lainnya sedang dalam proses menunggu review editor.
Bahkan tidak hanya satu karya saja yang mengabadi di dimensi jurnal sinta 2, namun beberapa karya sekaligus ikut menjadi abadi di panggung kebaikan jurnal sinta 2. Hal ini tentunya memberikanku semangat dan ambisi baru untuk terus menerus menjadi abadi dalam kebaikan setiap tulisan yang kuukirkan.
Impianku yang saat itu pernah ditertawakan menyimpan hikmah perubahan ketika diriku merespon hal itu dengan positif. Hingga pada akhirnya diriku berterimakasih kepada setiap insan yang pernah memandang rendah kepenulisan artikelku saat itu dan berterimakasih kepada diriku saat ini.
Kalaulah barangkali saat itu diriku tidak ditertawakan dan diejek, mungkin tidak akan ada krisna wijaya yang saat ini begitu mencintai dunia kepenulisaan. Salah satu teman Mapresku yang begitu puitis menyemangatiku untuk tetap selalu bergerak dalam diam dan biarkan kesuksesan menimbulkan kebisingan bagi mereka yang memandang remeh kita.
Walaupun di awal-awal kepenulisan ini adalah bertujuan untuk menjawab cemoohan dan cibiran yang ada, namun seberjalannya waktu, kami mulai titipkan harapan dan pesan kebaikan dalam setiap karya yang kami ukirkan. Niat awal kami untuk membuktikan diri sendiri mulai memudar digantikan tujuan baru untuk keabadian sebuah kebaikan.
Maka dari itu, tetaplah bergerak ketika impianmu diremehkan, ketika pergerakanmu ditertawakan, dan ketika hobimu kebaikanmu dipandang sebelah mata. Teruslah bergerak dan fokuslah bertumbuh dengan kebaikan yang kamu perjuangkan itu. Asalkan itu baik dan memberikan manfaat kepada sekitar, Langit pasti akan memberikan ruang untukmu bersinar suatu saat nanti.
Inilah kisahku ketika dunia kepenulisanku diremehkan. Sekarang, aku menantikan kisahmu dan lekas buatlah kisahmu sendiri untuk menunjukkan bahwa dirimu adalah pemenang untuk dunia yang kamu ciptakan sendiri.
Oleh: Krisna Wijaya