
Kurikulum Merdeka dan Keberadaan Sales-Sales Influencer Muda
Oleh: Krisna Wijaya
Beropinilah selagi opini itu gratis dan membuka akal pikiran
Salah satu program unggulan yang saat ini disuarakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) adalah keberadaan program Sekolah Penggerak. Dilansir dari laman web resmi https://sekolah.penggerak.kemdikbud.go.id/, program Sekolah Penggerak adalah upaya untuk mewujudkan visi Pendidikan Indonesia dalam mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila.
Dalam menjalankan program Sekolah Penggerak, keberadaan guru penggerak sebagai poros utama keberlangsungan program sekolah penggerak. Di sini, kami tidak akan membahas mengenai dampak yang ditimbulkan akibat keberadaan gagasan sekolah penggerak ini. Sudah ribuan artikel yang membahas mengenai sisi positif dari program ini di internet dan dapat kita jumpai setiap saat.
Dalam membaca beragam artikel mengenai sekolah penggerak dan guru penggerak, kami menjumpai tak terhitung lagi artikel dan opini yang membahas mengenai kehebatan dari program unggulan Mas Menteri kali ini. Seakan-akan seperti sedang melihat sales kurikulum kalau ibarat kata dalam pandangan Mas Alfian Bahri, hehe.
Istilah sales kurikulum ini muncul ketika beragam guru dan influencer muncul dan mendukung penuh setiap kebijakan yang dirumuskan oleh Mendikbud. Rasa-rasanya sangat jarang sekali dijumpai pendidik ataupun influencer pendidikan di media sosial yang memposisikan diri sebagai pembaca cerdas dan adil dalam melihat pergerakan arah kurikulum pendidikan Indonesia.
Sales Kurikulum Pendidikan
Istilah sales ini dipakai untuk menggambarkan seseorang yang menempatkan dirinya sebagai sosok yang bertugas menjajakan dan menonjolkan sisi positif dari produk yang sedang ditawarkannya kepada masyarakat. Dalam menjajakan produk ini, ternyata kurikulum pendidikan bisa menjadi salah satu produk yang dijual kepada masyarakat.
Maksud dari sales kurikulum pendidikan adalah sosok di mana seseorang menempatkan dirinya berperan dalam menjajakan dan menonjolkan sisi positif dari sebuah produk kurikulum yang dirumuskan oleh pemerintah dan menutup mata terhadap sisi negatif dari kurikulum itu sendiri.
Tidak terhitung berapa banyak guru, pendidik, stakeholder dunia pendidikan, bahkan para influencer yang tiba-tiba menjadi sales kurikulum pendidikan saat ini. Terkhusus dengan keberadaan kurikulum merdeka, banyak yang mengelu-elukan dan menyanjung-nyanjung mengenai keberadaan kurikulum ini dan menutup mata dengan beragam fakta masalah yang hadir di sebaliknya.
Dua Sisi Mata Berbeda
Beberapa waktu yang lalu, ada fakta menarik pada postingan akun instagram mas menteri dan akun informasi umum Indozone.id. Keduanya sama-sama memposting mengenai kurikulum merdeka di Indonesia. Perbedaan unik dalam kedua postingan itu adalah terletak pada komentar masyarakat yang begitu berbeda antara postingan mas menteri dan akun Indozone.id.
Pada akun mas menteri, ratusan komentar memiliki corak dan bentuk yang sama, yaitu menyanjung dan memberikan respon positif kepada gagasan kurikulum merdeka yang digagas oleh Mendikbud saat ini. Alfian Bahri menyebut hal ini sebagai testimoni produk yang sudah difilter demi membangun citra masyarahat, hehe. Lucu namun bisa menjadi sebuah diskusi yang menarik.
Di sisi lain, postingan kurikulum merdeka yang diposting oleh akun Indozone.id banjir akan hujatan dan keresahan pendidik ketika menjalankan praktik kurikulum merdeka. Ratusan bahkan ribuan cuitan itu memenuhi kolom komentar postingan Indozone.id mengenai kurikulum merdeka yang dirumuskan oleh mendikbud.
Para pendidik-pendidik itu menjelaskan mengenai wajah di balik cemerlangnya kurikulum merdeka yang ternyata menyisakan jurang masalah-masalah baru yang menghadang para pendidik dalam proses mengajarnya. Salah satu point di antara keresahan pendidik-pendidik itu adalah beban administratif yang tidak bisa disepelekan dan dipandang sebelah mata.
Banyak sekali yang menyuarakan kritik dan pandangan mengenai beban yang ditanggung guru tidaklah seberapa apabila dibandingkan dengan gaji dan kesejahteraan yang mereka dapatkan, terkhusus guru non PNS. Mereka adalah para pendidik dengan gaji SEJUTA (SEnyumin aja, JaUh standar, TApi tetap berjuang).
Beban administratif yang tidak sesuai dengan tunjangan itu kemudian mengingatkan kami mengenai pernyataan bung Rocky dalam sebuah sesi diskusi kritis di sebuah forum. Bung Rocky sampaikan bahwa esensi pendidikan saat ini telah menyimpang dari tujuan asasi yang ingin dicapainya di awal. Hal ini terjadi karena para pendidik bukannya diberikan ruang untuk fokus mengajar dan meningkatkan kapasistas dirinya justru dibebankan kewajiban administratif yang mengingat dan sekaligus mengancam mereka di saat yang bersamaan.
Mengancam karena bagi seorang dosen, publikasi dan riset menjadi syarat kenaikan jabatan atau pemberhentian jabatan secara tegas bagi yang tidak menghiraukannya. Alhasil praktik pengajaran dipenuhi dengan tujuan administratif dan minim berfokus pada peningkatan esensi dari pengajaran itu sendiri. Tidak hanya dosen, mereka para guru dan guru penggerak pun juga bernasib sama dengan hal ini.
Hal ini membuat penulis kembali mengingat pembacaan cerdas yang dilakukan oleh Peter Fleming mengenai kematian universitas. Saat ini dunia pendidikan, terkhusus perguruan tinggi dihadapkan dengan keberadaan Sinta, Scopus, dll., yang menjadi indikator kualitas publikasi dan tanda bahwa seorang pendidik atau akademisi hidup dan aktif.
Ketika dipikir ulang, bagaimana bisa aspek-aspek itu menjadi asas penilaian dalam menilai para akademis pendidik saat ini. Begitu menghegemoni dan bersifat mengikat secara administratif bagi mereka para pendidik. Hal ini juga berlaku pada kurikulum merdeka. Entah sudah berapa guru yang mengeluhkan dan curhat perihal Modul Ajar, administrasi, dll., yang begitu menguras fokus mereka dibandingkan kegiatan mengajar itu sendiri.
Dari sini setidaknya kita mulai bertanya-tanya, apakah posisi kita sebagai sales kurikulum pendidikan atau sebagai nitizen pembaca yang cerdas? Ketika ada guru influencer yang begitu menonjolkan sisi positif kurikulum merdeka tanpa berani mengkritisinya, maka kita memiliki hak untuk ambil bagian dalam membuka diskui ruang berpikir kritis mengenai hal itu.
Inilah pertanyaan yang pada dasarnya penulis pertanyakan pada diri sendiri dan pembaca sekalian, apakah kita siap menjadi pembaca cerdas atau justru sales produk dari pemerintah? Meminjam kacamata bung Rocky, pemerintah memang sudah seharusnya mencari solusi bagi kebaikan bangsa, masyarakat membayar pajak untuk membantu pemerintah menjalankan program kebaikan itu, dan adapun akademisi adalah membuka ruang berpikir untuk menghadirkan ruang kritis akal dalam membaca segala produk dan hal yang dijalankan oleh pemerintah.
Jadi ketika kita manut-manut saja sebagai seorang akademis terhadap segala kebijakan dan hal yang terjadi di sekitar kita tanpa berusaha berpikir dan membaca secara kritis, maka secara tidak langsung kita sedang menempatkan diri kita sebagai produk sampah akademik bagi dunia perguruan tinggi di Indonesia yang keberadaan kita sama saja seperti kita sedang meniada.
Bagi yang memiliki ide, mengkritisi tulisan kami, atau apapun itu setelah membaca artikel ini, kirimkan saja naskah itu ke email krisnawijaya276@gmail.com
Kami tidak akan mengurangi substansi artikel penulis walaupun berbeda pandangan dengan kami.
Link Grup Mata Air Pendidikan (grup share info seputar dunia pendidikan)

Rumah Hati
You May Also Like

Gurunya Manusia #2
November 20, 2021
Romansa Tikaman Kegagalan
August 4, 2023