Budaya Ilmu dan Prof. Wan Daud
2018, di sebuah kelas pemikiran yang diampu oleh Ustadz Anton Ismunanto (Pembina Bentala Tamaddun di Yogyakarta), dijelaskan beberapa istilah dan konsep mengenai Budaya Ilmu. Penjelasan beliau sungguh dalam namun nyatanya kami sangat bingung dengan penjelasan beliau kala itu.
Budaya ilmu, peradaban, tamaddun, Prof. al-Attas, Prof Wan Daud, dll., adalah beragam istilah dan nama-nama yang saat itu begitu membingungkan dalam benak penulis. Sempat terpikir, “Apa sih semua istilah dan nama-nama ini. Sangat membingungkan.” Kemudian seberjalannya waktu kebingungan itu ternyata tidak hanya dirasakan oleh penulis sendiri, namun peserta kelas pemikiran yang diampu oleh ustadz Anton menjadi salah satu kelas pertama sekaligus yang paling banyak orang berguguran di dalamnya.
Seberjalannya waktu, takdir kemudian mempertemukan kami dengan Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam sebuah seminar pemikiran pendidikan Islam kala itu di Jogja. Ditambah setelahnya adalah perjumpaan dengan Dr. Adian Husaini tatkala membedah buku pemikiran pendidikan Islam beliau, semua perjumpaan itu membuat hati dan pikiran kami semakin terbuka akan dinamika pemikiran Islam dan permasalan pendidikan di Indonesia.
Kedua perjumpaan itulah yang menjadi dasar utama kami melangkahkan kaki untuk studi di UNIDA Gontor pada awal mulanya. Hingga kemudian kami lebih memahami beragam istilah, nama, dan terminologi yang beberapa tahun sebelumnya sangat asing, kini begitu akrab didengarkan oleh telinga.
Sampai tidak sadar perlahan kami menjumpai hal yang 5-6 tahun lalu tidak pernah terbayangkan sama sekali akan melakukannya. Salah satu di antaranya adalah berjumpa dengan Prof. Wan Daud dan meminta goresan kecil untuk karya beliau “Budaya Ilmu” pada januari 2024 lalu di Malaysia.
Prolog Usai – Oleh Krisna –
“Keep on improving your language skills, and increase your reading and thinking … but remember true knowledge is a gift from God Who knows who is most deserving to receive His gifts. Be sincere and work hard ….”
Kutipan di atas adalah nasihat Prof. Dr. SMN al-Attas kepada murid utamanya, Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud. “al-Attas memberi nasihat yang tidak pernah saya lupakan, dan yang saya gunakan untuk menasihati para lara dan sarjana muda”, kata Prof. Wan. (Lihat, Dr. Adian Husaini, Rihlah Ilmiah Wan Mohd Nor Wan Daud: Dari Neomodernisme ke Islamisasi Ilmu Kontemporer (UTM-CASIS & INSISTS, 2012), 185).
Nasihat penting Prof. al-Attas di atas kepada Prof. Wan adalah tentang mengembangkan kemampuan bahasa dan meningkatan daya baca dan berpikir. Prof. Wan bahkan menambahkan, “Malah, dengan mengutip pendapat Ibn Khaldūn, beliau senantiasa mengatakan tidak perlu membaca banyak buku, hanya yang penting-penting sahaja, dan karya-karya yang memudahkan memahami yang penting-penting itu. Untuk meningkatkan gaya bahasa Inggeris, beliau menggalakkan membaca novel-novel berbahasa Inggeris yang bermutu tinggi. Mulai saat itu, saya membaca novel-novel Inggeris atau Melayu bukan sahaja mahu menikmati cerita yang menarik, tetapi mengkaji cara-cara menghuraikan sesuatu dengan lebih tepat dan mendalam.” (Dr. Adian Husaini, Rihlah Ilmiah, 185).
Dari sana kita dapat mengambil satu poin mendasar, yakni pentingnya membaca dan “membumikan” budaya ilmu. Dan Prof. Wan, hemat penulis, adalah sosok yang tepat untuk digali ide dan pemikirannya mengenai ‘budaya ilmu’ ini.
Prof. Wan: Siapakah Dia?
Nama lengkap beliau adalah Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud. Beliau dilahirkan pada 23 Desember 1955, Tanah Merah, Negeri Kelantan, Malaysia. Beliau adalah putera sulung (dari 13 orang bersaudara) dari Wan Daud bin Hj Wan Abdul Rahman dan Esah binte Awang.
Secara ringkas, karir keilmuan Prof. Wan dapat dijelaskan bahwa dari 1979-1987 bertugas sebagai tutor dan pensyarah di Fakulti Pengajian Tinggi Islam UKM. Dari 1988-2002 merupakan salah seorang pelopor dan Mantan Timbalan Pengarah International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) yang membantu Pengarah-Pengasasnya YM Tan Sri Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Memperoleh ijazah B.Sc (Hons) Kajihayat (Biologi) dan M.Sc.Ed. (Kurikulum dan Pengajaran), dari Northern Illionis University, Dekalb, Illionis dan Ph.D dari The University of Chicago di bawah bimbingan Prof. Fazlur Rahman, asal Pakistan.
Prof. Wan telah banyak melahirkan karya. Dan buah penanya dinilai penting, sehingga banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa lain, diantaranya bahasa Indonesia. Setidaknya beliau telah menulis 16 judul buku dan monograf serta puluhan makalah dalam jurnal, baik dalam negeri maupun internasional. Diantara bukunya yang terkenal dan banyak dikaji adalah: The Concept of Knowledge in Islām: Its Implications for Education in a Developing Country (New York & London, 1989). Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan denga judul Konsep Pengetahuan dalam Islam (Bandung: Pustaka, cet. I, 1417 H/1997 M).
Karya lainnya adalah Budaya Ilmu: Satu Penjelasan (Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2007); The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998).
Karya penting ini telah diterjemahkan oleh Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Dr. M. Arifin Ismail dan Iskandar Amel dengan judul Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas (Bandung: Mizan, cet. I, 1424 H/2003 M).
Beliau juga menulis Mutiara Taman Abadi: Sebuah Puisi Mentafsirkan Amanah Insan dan Peranan Ilmu dan Akhlak dalam Masyarakat (Tradisi Ilmu, 2004); Budaya Ilmu 1Malaysia: Membina Negara Maju dan Bahagia (Akademi Kenegaraan & CASIS, 2011); Peranan Universiti: Pengislaman Ilmu Semasa, Penafibaratan, dan Penafijajahan (CASIS & HAKIM, 2017); Budaya Ilmu: Makna dan Manifestasi dalam Sejarah dan Masa Kini (Kuala Lumpur: CASIS & HAKIM, 2019); dan karya lainnya.
Saat ini, Prof. Wan dikenal sebagai ahli filsafat, pakar pendidikan, aktivis Islām, sekaligus penyair. Disamping dikenal luas sebagai pegiat dan pakar “Islamisasi Ilmu”, meneruskan gurunya yang mulia, Prof. Dr. SMN al-Attas.
Aktivitasnya luas dan fokus pada masalah keilmuan, pendidikan, pemikiran dan keislaman. Maka, tak heran jika beliau menjadi penasihat di Graduate Programme for International Studies, University of Melbourne, Australia; ahli di Majlis Penasihat untuk Center for Strategic Middle Eastern Studies (CSMES), Zirve University, Gaziantep, Turki.
Kemudian, beliau juga Penyunting untuk Journal al-Shajarah (Jurnal di ISTAC), AFKAR (Akademi Islam, Universiti Malaya); Editor International Journal of Pesantren Studies (Jakarta); Editor Tsaqafah: Journal for Islamic Science and Culture (Gontor); Beytulhikme (Adiyaman University, Turki); dan Ketua Editor Siri CASIS & HAKIM Islam, Sains dan Peradaban.
Pada tanggal 15 Juni 2019 lalu, Prof. Wan dilantik sebagai pemegang pertama ‘Kursi Pemikiran Islam Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas’ di RZS-CASIS (singkatan dari ‘Raja Zarith Sofiah-Center for Advanced Studies on Islām, Science and Civilization), di Universiti Teknologi Malaysia (UTM).
Menanam dan Menyuburkan Budaya Ilmu
Dari beberapa karya penting Prof. Wan, utamanya: Konsep Pengetahuan dalam Islam; Budaya Ilmu: Satu Penjelasan; Budaya Ilmu dan Gagasan 1Malaysia; dan Budaya Ilmu: Makna dan Manifestasi dalam Sejarah dan Masa Kini menegaskan bahwa ide dan pemikiran mengenai ‘budaya ilmu’ sangat serius dilakoni oleh Prof. Wan. Dan sejatinya ini memang tugas seorang ulama, intelektual dan cendekiawan Muslim. Agar memberikan faham ilmu dan menjelaskan ‘budaya ilmu’ yang benar.
Memulai kajian penting mengenai konsep ilmu dalam Islām Prof. Wan menjelaskan bahwa Al-Qur’an memberikan perhatian khusus dan serius mengenai ilmu. Asal kata dasar ‘-l-m, termasuk yang berkaitan dengan alam (dunia) disebut sebanyak 750 kali. (Prof. Wan, Konsep Pengetahuan dalam Islām, 34).
Frekuensi munculnya dasar suatu kata (‘ilm misalnya) hanya suatu indikasi betapa pentingnya konsep tersebut. Di samping itu juga, sering digunakan sinonim dengan beberapa makna, seperti f-k-r (berpikir), f-q-h (mengerti), d-b-r (merenungkan), ‘-q-l (berpikir), f-h-m (memahami). Juga digunakan antonim seperti j-h-l (mengabaikan), dan ketidaksinoniman (seperti la yafqahun [tidak mengerti], la ya‘qilun [tidak berpikir]) untuk menekankan pentingnya konsep ini (ilmu). (Prof. Wan, Konsep Pengetahuan dalam Islām, 36).
Jadi, ‘budaya ilmu’ itu dasarnya adalah Wahyu, yakni Al-Qur’an. Sehingga, secara detail Prof. al-Qaradhāwī, misalnya, melakukan pelacakan menarik mengenai kata ‘ilmu’ berikut derivasinya dalam Al-Qur’an, yang muncul ratusan kali. Kata ta‘lamūn terulang sebanyak 56 kali; fasata‘lamūn 3 kali; ta‘lamū 9 kali; ya‘lamūn 85 kali; ya‘lamū 7 kali; ‘allama berikut pecahannya sebanyak 47 kali; kata ‘alīm (baik ma‘rifah maupun nakirah) 140 kali; ‘ilm (secara ma‘rifah dan nakirah) 80 kali, dan derivasi lainnya.
Pengulangan itu semua, simpul Prof. al-Qaradhāwī, merupakan satu bukti tegas akan keutamaan ilmu dan urgensinya dalam pandangan Al-Qur’an. (Prof. Dr. Yūsuf al-Qaradhāwī, al-‘Aql wa al-‘Ilm fī al-Qur’ān al-Karīm (Kairo: Maktabah Wahbah, cet. I, 1416 H/1996 M), 71).
Prof. Wan menegaskan bahwa ilmu amat sentral dan vital bagi umat Islam. Bersetuju dan bersepakat dengan pandangan Prof. al-Attas beliau menyatakan bahwa sebab terpenting segala masalah dalam (internal) dan luaran (eksternal) umat Islām hari ini berpunca dari ‘budaya ilmu’ yang keliru. (Prof. Wan, Budaya Ilmu: Satu Penjelasan, 9-10).
Untuk itu, Prof. Wan meminta dengan serius kepada para pemimpin Islām agar serius memperhatikan perihal ini. Kata beliau;
“Untuk umat Islam merobah nasibnya dalam kurun Masihi yang baru bermula, para pemimpin umatnya dalam pelbagai lapangan haruslah benar-benar ikhlas menanam dan menyuburkan ‘budaya ilmu’ yang benar berasaskan pandangan alam Islam dan skima ilmunya. Penanaman dan penyuburan ini memerlukan ilmu yang tidak dikelirukan oleh pelbagai anasir sūfasthā’iyyah. Jika tidak, yang akan disemai dan disuburkan ialah budaya anti-ilmu, anti-intelektual yang boleh (bisa) membuahkan budaya pintar dan mahir tetapi hampa dari segi keilmuan sebenar, kemanusiaan, keadilan dan keihsanan.” (Prof. Wan, Budaya Ilmu: Suatu Penjelasan, 10).
Bukan hanya itu, ternyata syarat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan teknologi, kesejahteraan pribadi, sosial dan persekitaran serta kebahagiaan dasar, memerlukan penyuburan ‘budaya ilmu’ yang segar. (Prof. Wan, Budaya Ilmu dan Gagasan 1Malaysia, 27). Beliau juga menegaskan bahwa ‘budaya ilmu’ yang harus disubursegarkan bukan sekadar menunjukkan kecintaan dan penguasaan pelbagai bidang ilmu dan kemahiran, tetapi juga menjayakan tugas yang bermanfaat bagi kemajuan diri, bangsa, negara dan dunia, baik yang berjangka pendek maupun panjang. (Prof. Wan, Budaya Ilmu dan Gagasan 1Malaysia, 27).
Selanjutnya, Prof. Wan menjelaskan pula bahwa ‘budaya ilmu’ yang disaran oleh Islām dan semua agama besar bertujuan melahirkan manusia berpendidikan yang beradab yang memahami akan batas-batas kebenaran dan kemanfaatan (limits of truth and usefulness) terhadap segala sesuatu dan bertindak sepatutnya. (Prof. Wan, Budaya Ilmu dan Gagasan 1Malaysia, 28). Maknanya, ‘budaya ilmu’ yang benar adalah yang dapat menanamkan adab dalam jiwa setiap insan. Sehingga ‘budaya ilmu’ tak sekadar bicara tentang penguasaan pelbagai cabang ilmu dan kemahiran (skill) belaka.
Budaya Ilmu dan Peradaban
Menurut Prof. Wan, ‘budaya ilmu’ yang baik, benar dan jitu akan melahirkan kejayaan, kekuatan dan kebahagiaan seseorang dan sesuatu bangsa mempunyai kekuasaan atau kekayaan tidak boleh mempertahankan miliknya, apatah lagi mengembangkannya tanpa ‘budaya ilmu’ yang baik. Malah dia akan bergantung kepada orang atau bangsa lain yang lebih berilmu. (Prof. Wan, Budaya Ilmu: Makna dan Manifestasinya, 21).
Untuk menegaskan pentingnya ‘budaya ilmu’ dalam membangun peradaban, Prof. Wan menyebutkan pelbagai bangsa-bangsa yang bangkit dan bangun dengan keilmuan: mulai dari masyarakat Yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan; kaum Yahudi, kaum yang kecil tetapi mempunyai ‘budaya ilmu’ yang kuat; bangsa China yang memberikan penekanan yang istimewa kepada pembelajaran dan pendidikan; masyarakat India yang memberikan sumbangan dalam bidang astronomi, geometri, perobatan dan beberapa di bidang lain; begitu juga dengan penghormatan Yunani Kuno dan Romawi terhadap ilmu.
Khusus di Barat, ilmu pengetahuan tentang ilmu sains dibelenggu oleh Kristen, ketika mejadi agama negara. Khusus di Abad Pertengahan, ilmu di Barat memang dipelajari dan dihormati, namun tidak dengan kesungguhan seperti pada zaman sebelumnya. Ilmu kemudian dipecah-pecahkan kepada tiga bidang yang saling berasingan, yakni: akhlak, metafisika dan sains. (Prof. Wan, Budaya Ilmu: Makna dan Manifestasinya, 23-33).
Sebaliknya, dalam Islām ilmu adalah teras sistem nilai agama itu sendiri. Sehingga ia menduduki tempat yang amat tinggi dalam pandangan alam, syariah, akhlak dan tamadun Islām. Penekanan kepada ilmu dalam ajaran Islām jelas dalam sumber asas agama iaitu Al-Qur’an dan ajaran Nabi Muhammad (Sunnah), dan dalam ajaran semua tokoh Islām dari dahulu hingga sekarang. Penekanan kepada pembacaan, sebagai wahana penting dalam usaha keilmuan, dan pengiktirafan Allah sebagai sumber tertinggi ilmu pengetahuan manusia merupakan perkara awal yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad yang ummi. (Prof. Wan, Budaya Ilmu: Makna dan Manifestasinya, 36).
Itu artinya Islām ini adalah agama yang sangat saintifik (ilmiah). Karena sejak awal Wahyu Allah memulai risalah-kenabian Nabi Muhammad dengan perintah membaca (sebanyak dua kali) yang dilanjutkan dengan menuliskan ilmu pengetahuan ( ‘allama bi’l-qalam ) sebagai upaya penyebaran ilmu pengetahuan (cermati, Qs. 96: 1-5). Jadi, sejak awal Al-Qur’an mengajak umat Islam untuk menghidupkan dan menyuburkan ‘budaya ilmu’. Karena hanya dengan ‘budaya ilmu’ yang baik dan benar akan melahirkan manusia-manusia yang intelek dan beradab sebagai pemeran dan pembangun peradaban yang tinggi dan bermartabat. Inilah tugas berat setiap Muslim dalam membela kemuliaan agama dan umatnya di masa mendatang. Wallahu a‘lam bis-shawab.*
Repost Tulisan dari Hidayatullah Qosim#