gender
Ruang Opini

Selamat Hari Kartini? Haruskah

Oleh: Krisna Wijaya

Repost tulisan tahun 2022 …

 

21 April 2022, merupakan hari yang terbilang istimewa bagi sebagian besar perempuan Indonesia. Hal ini dikarenakan setiap tanggal 21 April, masyarakat Indonesia, terkhusus kaum perempuan merayakan dan memperingati Hari Kartini.

 

Hari itu adalah momen di mana setiap orang akan merayakannya dan berusaha mengenang jasa perjuangan seorang perempuan bernama lengkap Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau yang biasa dikenal Raden Ajeng (RA) Kartini terhadap tanah air kita.

 

RA Kartini merupahan tokoh yang disebut-sebut sebagai tokoh pahlawan emansipasi perempuan Indonesia. Namun di samping mengikuti arus peringatan hari Kartini, sebagian cendikiawan dengan cerdas justru mempertanyakan mengenai kebenaran sejarah Kartini itu sendiri.

 

Di sini kita tidak bermaksud untuk mengecilkan jasa perjuangan seorang Kartini yang turut berjuang memperjuangkan kedudukan dan keadaan kaum perempuan Indonesia untuk menjadi lebih baik lagi. Namun bukan berarti kita harus serta merta menerima sejarah yang telah disajikan begitu saja tanpa ada usaha menghadirkan pikiran kritis di sebaliknya.

Hormat dan Kritis

Kembali mengingatkan bahwa Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud dalam karyanya Budaya Ilmu: Makna dan Manifestasi dalam Sejarah dan Masa Kini telah menjelaskan bahwa masyarakat yang berperadaban itu memiliki sikap hormat dan kritis di saat yang bersamaan dalam memandang ilmu pengetahuan.

 

Rumus hormat dan kritis ini tentunya juga bisa kita terapkan tatkala berhadapan dengan berbagai disipilin ilmu pengetahuan yang ada, termasuk disiplin ilmu sejarah. Perhatian terhadap disiplin ilmu sejarah dan pembahasan mengenai sejarah Kartini ini menjadi sesuatu yang sangat penting untuk terus menerus dikaji karena beberapa alasan berikut:

 

Pertama, disiplin ilmu sejarah menjadi suatu hal yang penting untuk didudukkan karena merupakan pilar sebab hancur atau bangkitnya sebuah bangsa. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Juri Lina dalam karyanya Architects of Deception menjelaskan bahwa terdapat tiga cara untuk melemahkan, menghancurkan, bahkan menjajah sebuah bangsa. Ketiga cara tersebut adalah dengan mengaburkan sejarahnya, menghilangkan dan menghancurkan bukti-bukti sejarah bangsa itu sendiri agar tidak bisa dibuktikan asal-usul kebenarannya, dan terakhir memutuskan hubungan sebuah bangsa dengan leluhurnya melalui cara penggiringan asumsi bahwa leluhur mereka itu primitif dan bodoh.

 

Kedua, membahas mengenai sejarah perempuan, maka sejatinya kita sedang membahas mengenai masa depan sebuah bangsa itu sendiri. Tim penulis Srikandi PII Wati Mesir dalam karyanya Muslimah Ibu Peradaban menguraikan mengenai panjang lebar mengenai peran wanita dalam membangun sebuah peradaban.

 

Tatkala menuliskan buku tersebut, mereka sampai pada sebuah kesimpulan yang berbunyi “Al-Mar’ah ‘imad al-Bilad. Idza shaluhat sholuha al-Bilad, wa idza fasadat fasada al-Bilad”. Hal ini bukan hanya pepatah semata, mereka adalah pilar peradaban yang bisa mencetak kader-kader unggul, anak-anak yang cerdas dan bertakwa. Kader-kader inilah yang di kemudian hari akan menjadi para pembangun bangsa (national builders) dalam upaya pembangunan bangsa (nation building).

 

Kedua alasan di atas sudah lebih dari cukup untuk menjadi dasar pijakan bagi kita dalam mengkaji lebih dalam mengenai sejarah Kartini di negeri kita. Sekali lagi, bukan bermaksud mengecilkan jasa perjuangan Kartini, namun di saat tanah air kita sedang terfokus pada momen yang membahagiakan ini, isu lama pro dan kontra mengenai Kartini juga ikut hadir di belakangnya.

Bangsa Besar Namun Lemah

Teringat bahwa Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno pernah mengatakan bahwa, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tak melupakan sejarahnya. Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Perlu kita tegaskan bahwa bangsa kita merupakan bangsa yang besar dengan segala sumber daya di dalamnya.

 

Sumber daya manusia misalnya, merujuk dari laporan riset dari The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RICCS) yang bertajuk The Muslim 500 edisi 2022, Indonesia merupakan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia.

 

Dengan sumber daya manusia (umat Islam) yang begitu besarnya itu, saat ini sedang berlangsung berbagai upaya serius yang berusaha melemahkan potensi peradaban bangsa kita agar bisa bangkit menjadi negara adidaya di dunia.

 

Mereka takut akan bangkitnya Islam sebagai landasaran kita dalam membangun peradaban Nusantara. Maka dari itu, sudah sejak zaman penjajahan terjadi usaha-usaha dalam melemahkan nilai-nilai keislaman di Indonesia.

 

Salah satu upaya yang mereka lakukan dalam menghancurkan peradaban bangsa ini adalah dengan menghilangkan dan memutus bangsa Indonesia dari sejarah keislaman yang mewarnai perjuangan kemerdekaan di dalamnya.

 

Muhammad Asad dalam bukunya Islam at the Crossroads, menulis, “No civilization can prosper – or even exist, after having lost pride and the connection with its own past… .” Jadi, suatu peradaban tidak akan berkembang, atau bahkan tidak akan bertahan jika ia kehilangan kebanggaan dan terputus dari sejarahnya sendiri.

Inilah yang yang saat ini terjadi di tanah air kita. Bangsa kita adalah bangsa yang besar, namun besar dalam artian banyak permasalahan, baik bersifat internal ataupun eksternal. Dalam ranah internal dapat kita lihat di mana begitu banyak umat Islam yang justru anti terhadap Islam itu sendiri. Dalam konteks sejarah, banyak dari mereka yang tidak paham mengenai sejarah nilai-nilai Islam yang mewarnai perjuangan kemerdekaan bangsa ini.

 

Dr. Adian Husaini pernah menegaskan bahwa, “Seperti menyadari benar potensi Islam untuk kebangkitan sebuah peradaban, maka selama ratusan tahun telah dilakukan berbagai usaha untuk memperkecil peran Islam, tak terkecuali di Nusantarta.”

 

Tidak hanya beliau, Dr. Muhammad Isa Anshory juga menerangkan bahwa, “Di Masa penjajahan, Belanda datang ke Indonesia bukan hanya sebatas mengeksploitasi kekayaan alam saja, namun mereka juga berupaya untuk menghilangkan pengaruh Islam terhadap bangsa Indonesia. Bersama para orientalisnya, kaum kolonial Belanda berusaha memperkecil arti dan peran Islam dalam sejarah Melayu-Indonesia.”

 

Dalam konteks zaman saat ini, tampaknya dapat kita simpulkan mereka telah berhasil melemahkan bangsa Indonesia dari sisi sejarahnya. Hal ini bisa kita buktikan faktanya di tengah-tengah kehidupan kita sekarang. Sadar atau tidak, semakin banyak masyarakat yang memperingati hari Kartini, maka semakin terindikasi bahwa pilar kebangkitan bangsa dalam aspek sejarah begitu lemah di tanah air kita.

 

Memperingati Hari Kartini: Haruskah?

Membahas mengenai penokohan Kartini, tidak sedikit tokoh-tokoh sejarawan yang memberikan kritik terhadap penulisan sejarah tokoh Kartini ini. Di antaranya seperti guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar yang mempertanyakan mengenai pengkultusan Kartini sebagai tokoh perempuan Indonesia ini.

 

Melalui karyanya Satu Abad Kartini, Prof. Harsja menuliskan, “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkan lebih lanjut.”

 

Hal senada juga berkali-kali disampaikan oleh Dr. Tiar Anwar Bahtiar dalam berbagai tulisannya. Dr. Tiar menegaskan bahwa banyak pertanyaan yang sebenarnya bisa diajukan dalam rangka merespon sejarah bangsa kita sendiri.

 

Pertanyaan-pertanyaan itu seperti, mengapa harus Boedi Oetomo dan bukan Sarekat Islam? Mengapa harus Ki Hajar Dewantara dan bukan KH. Ahmad Dahlan atau KH. Hasyim Asy’ari sebagai tokoh pendidikan nasional? Dll.

 

Begitu juga sejarah mengenai Kartini, beliau mempertanyakan, mengapa harus Kartini? Di saat pada masa itu juga terdapat beberapa tokoh perempuan yang memiliki jasa lebih besar terhadap bangsa dan agama.

 

Sebut saja seperti Siti Walidah atau Nyai Dahlan, Roehana Koeddoes, Hajjah Rangkayo Rasuna Said, Laksamana Malahayati, Syekhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyah, Sultanah Safiatuddin, dll. Di samping berjuang demi kebaikan bangsa, tokoh-tokoh perempuan ini juga berjuang demi kemuliaan agama Islam.

 

Sebagai negara yang merdeka atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa (sesuai dengan pembukaan UUD 1945) dan menjadikan aspek ketuhanan sebagai sila pertama dalam Pancasila, Indonesia sebenarnya adalah sebuah negara yang berdiri dengan dasar nilai dan norma agama yang mendasari setiap langkah pergerakannya, terkhusus berdasarkan nilai dan norma dari agama Islam.

 

Maka dari itu, seyogyanya pahlawan perempuan yang dijadikan icon perjuangan perempuan Indonesia seharusnya adalah mereka yang berjuang demi negara dan di saat yang bersamaan juga berjuang demi kemuliaan agama Islam.

 

Saat ini rasa-rasanya politik deide et empara (politik adu domba) yang dilakukan oleh Belanda dahulu kala telah menuai hasilnya sekarang. Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam rasa-rasanya memang tidak lagi mengenal sejarah bangsanya sendiri.

 

Indikasinya telah jelas, di mana semarak hari Kartini diperingati dengan meriah tanpa ada pikiran kritis mempertanyakan kebenaran sejarah yang terjadi. Apakah mereka yang merayakan hari Kartini tidak tebesit di pikiran mereka untuk mempertanyakan kebenaran sejarah mengenai Kartini itu sendiri? Apakah mereka tidak merasa janggal atas sejarah yang disajikan?

 

Tokoh Kartini tidaklah salah di sini, namun mereka yang berperan dalam menokohkan Kartini sebagai icon perjuangan perempuan Indonesia lah yang harus di kaji lebih mendalam. Siapa mereka? Fakta menunjukkan bahwa penokohan Kartini ini tidak terlepas dari andil Belanda sebagai dalang penokohannya.

 

Perlu diketahui bahwa sosok Kartini tidaklah salah, karena dia berperan sebagai batu pijakan atas suatu rencana yang kala itu direncakan untuk kepentingan pemerintah Belanda. Sebagaimana fakta yang diungkapkan oleh Prof. Harsja bahwa Kartini memang dipilih oleh Belanda karena kepentingan tertentu sebagai icon wanita pribumi Indonesia.

 

Sejarawan Universitas Indonesia, Rushdy Hosein mengatakan hal yang senada bahwa bangsa kita saat ini telah menerima mentah-mentah sebuah tawaran konsep kepahlawanan emansipasi wanita dari Belanda.

 

Awal langkah di mana Belanda memulai rencananya dalam menjadikan Kartini sebagai tokoh wanita pilihan Belanda adalah ketika seorang orientalis bernama Snouck Hurgronje – seorang orientalis sekaligus penasehat pemerintah Hindia Belanda yang juga pernah ditugaskan untuk memenangkan perang di Aceh – yang mendorong J.H Abendanon untuk mulai memperhatikan Kartini tiga bersaudara.

 

Oleh karena itu, pertemuan antara Kartini dengan Abendanon bukan sebuah kebetulan semata, namun hal itu telah diatur dan direkayasa di bawah rencana Snouch Hurgronje. Sampai akhirnya kedekatan antara Kartini dan Abendanon adalah sebagai seorang sahabat pena.

 

Habis Gelap Terbitlah Terang

Kartini merupakan sosok yang dikenal suka terhadap dunia kepenulisan. Hal itu dibuktikan dengan kebiasaan bertukar pesan dengan beberapa sahabat penanya di Belanda, termasuk pada Abendanon. Sampai akhirnya setelah kematian Kartini, kumpulan surat-surat yang ditulis olehnya kemudian diterbitkan di bawah arahan Abendanon dengan judul Door Duisternis tot Lich (Habis Gelap Terbitlah Terang).

 

Kehadiran karya ini tentunya mendapat pro dan kontra dari berbagai kalangan. Namun sebagian besar masyarakat Indonesia memilih mengagung-agungkan karya kumpulan tulisan Kartini ini. Salah satunya seperti Saparinah Sadli, seorang guru besar Universitas Indonesia yang berpendapat bahwa Kartini berbeda dengan tokoh perempuan lainnya karena tulisan-tulisan yang dia tinggalkan.

 

Di samping Saparinah tentunya masih banyak yang memuji-muji karya itu. Namun sayangnya para pemuji itu hanya sebatas menerima hasil yang sudah jadi tanpa mencoba mempertanyakan kebenaran isi surat-surat di dalamnya.

 

Kebenaran surat-surat itu mulai dipertanyakan karena memang pada faktanya naskah itu diterbitkan di saat pemerintah Belanda sedang berusaha menerapkan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendon adalah salah satu tokoh kunci yang memiliki kepentingan atas politik etis tersebut di bawah arahan Snouck Hurgronje.

 

Di samping ketidakjelasan akan keaslian naskah surat-surat itu, Dr. Tiar Anwar bahkan menegaskan bahwa surat-surat Kartini yang telah diterbitkan dalam buku Door Duisternis tot Lich adalah surat-surat yang sudah dipilih dan diseleksi oleh Belanda kala itu.

 

Surat-surat yang terkumpul dalam buku Door Duisternis tot Lich ini seolah-olah menggambarkan bahwa tokoh Kartini adalah seorang pendukung kaum feminis. Kemudian surat-suratnya lebih menguntungkan kaum feminis saja.

 

Kartini Hanyalah Korban

Membahas mengenai Kartini, seringkali sebagian kelompok tertentu justru bersikap anti terhadap isu mengenai Kartini ini. Mereka tidaklah menerima dan tidak juga menolaknya, namun hanya merasa lelah atas berbagai polemik yang berkaitan mengenai isu ini.

 

Ujung-ujungnya adalah menyalahkan tokoh Kartini karena dianggap sebagai sumber segala permasalahan pro dan kontra yang terjadi. Kesimpulan seperti ini tentu adalah sebuah kesalahan. Kalau kita cermati lebih mendalam, kita dapati bahwa tokoh Kartini ini sebenarnya hanya berperan sebagai tokoh yang dikorbankan oleh Belanda.

 

Terlepas dari pro dan kontra surat-suratnya, apabila dilihat dari surat-surat yang dikirimkan kepada Abendanon, Kartini memang sempat mengagumi dan memandang orientalis Snouck Hurgronje sebagai seorang yang pakar terhadap ilmu keislaman dan banyak menanyakan permasalahan agama padanya. 

 

Hal itu bisa dilihat dari surat Kartini untuk Abendanon. Lihat karya Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandiri dan Suaminya terjemahan Sulastin Sutrisno. Jadi besar kemungkinan bahwa pemikiran Kartini banyak terpengaruhi oleh pemikiran Snouck dan Abandenon itu sendiri.

 

Walau demikian, pada akhirnya Kartini tetaplah memiliki cita-cita dan harapan mulia di akhir hidupnya. Sebagaimana surat yang dikirimkannya pada Abendanon berisi, “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah SWT.”

 

Kemuliaan itu hadir ketika Kartini mulai belajar dengan seorang tokoh agama bernama Kyai Saleh Darat. Beliaulah yang membawa Kartini menuju perjalanan spiritual yang mendalam dalam hidupnya.

 

Selain itu Kartini juga pernah mendapatkan hadiah kitab tafsir dari Kyai Saleh Darat sebagai hadiah atas pernikahannya dengan RM Joyodiningrat. Kartini menyebut kado yang diberikan oleh Kyai Saleh ini sebagai “kado pernikahan yang tak bisa dinilai manusia”.

 

 

Di akhir, kadang kala Kartini merupakan sasaran kemarahan atas beberapa pihak yang anti terhadap paham feminisme. Hal ini dikarenakan tokoh Kartini lebih dikenal atas perjuangan emansipasinya terhadap wanita. Di sisi lainya, Kartini merupakan batu pijakan atas rencana politik yang dilakukan oleh pemerintahan Belanda kala itu.

 

Benarkah Kartini dalam hidupnya memperjuangkan kesetaraan hak sebagaimana yang diperjuangkan kaum feminisme? Apakah ini tidak termasuk rekayasa Belanda? Bukankah di akhir hidupnya, Kartini kembali dekat dengan nilai-nilai ajaran Islam? Kenapa sisi spiritualitas Kartini jutru tidak dikenal luas? 

 

Berbagai pertanyaan di atas tentu menjadi awal langkah yang bisa ditempuh setiap insan yang mengaku berakal untuk mencoba berefleksi dan berkaca atas berbagai peristiwa sejarah yang disajikan di depan mata kita. Inilah permasalahan di negeri kita yang begitu kompleks keadaanya saat ini.

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *