Istri Meminta Izin Kepada Suami, Perlukah? Analisis Anggapan Islam Sebagai Agama Yang Mengekang Wanita
Oleh: Asfa Fikriyah
Peserta Program Kaderisasi Ulama UNIDA Gontor Angkatan 18
Pernikahan merupakan sunnah Rosulullah Saw kepada ummatnya sebagai sarana menjaga diri dari hal-hal yang mendekatkan kepada perbuatan zina dan sarana mendapatkan pahala serta ridho Allah SWT.
Pernikahan adalah hubungan yang suci di mana jika akad sudah dilakukan maka suami istri berjanji di hadapan Allah untuk saling percaya, menghormati, keberkahan kehidupan di dunia dan berharap dipertemukan di surga-Nya kelak.
Namun pandangan feminisme maupun wanita zaman sekarang menganggap bahwa pernikahan merupakan hal yang mempersulit diri mereka sebagai seorang wanita yang mengharapkan kebebasan, karena menjadi istri mengikat mereka tanpa bisa mengekspresikan aspirasi.
Contoh yang nyata adalah kewajiban istri untuk meminta izin suami jika ingin keluar rumah untuk melakukan suatu hal di luar, banyak wanita bahkan Muslimah masih enggan untuk patuh kepada suaminya. Hal tersebut menurut mereka terlalu menyulitkan dan tidak membebaskan mereka mengikuti apa yang mereka inginkan.
Padahal, hal tersebut dilakukan karena terdapat hikmah di dalamnya. Assoc. Prof. Dr Sujiat Zubaidi, M.A yang merupakan Dosen UNIDA Gontor berpendapat bahwa terdapat dua aspek tujuan perintah ini.
Pertama, tanggung jawab, bukan berarti seorang laki-laki berkuasa atas wanita dan melakukan apapun sesuka hati kepada istrinya. Hal ini dikarenakan setelah seorang wanita menjadi istri, maka tanggung jawab menjaga dan membimbing berada pada suami.
Sehingga, meminta izin merupakan kewajiban yang harus dilakukan. Hal ini dikarenakan, wanita terkadang tidak mengerti yang terbaik bagi dirinya, mendahulukan perasaan tanpa menimbang mana yang terbaik untuk dirinya. Jika terjadi sesuatu, maka yang bertanggung jawab adalah suami, sehingga perlu bagi istri untuk patuh terhadap suami.
Kedua, ridho dan ketentraman jiwa, jika seorang istri dan suami sama-sama ridho dan sabar atas segala hal maka hati menjadi tenang, tentram, terhindar dari sikap gelisah dan tidak ada kekhawatiran.
Seorang istri saat mendapatkan izin dari suaminya setiap ingin keluar, maka ia mendapatkan ketenangan jiwa dalam melakukan hal apa pun di luar rumah, seperti saat berkendara, bermain, maupun berbelanja.
Tidak ada kegelisahan yang ada dalam hatinya karena suaminya ridho akan kepergiannya, begitu pun sebaliknya, suami mendapat ketenangan jiwa karena hal tersebut. Dalam Al Qur’an surat An Nisa’ ayat 34, dijelaskan bahwa laki-laki merupakan pemimpin bagi wanita.
Makna qowamuuna bukan hanya berkuasa atau pemimpin, namun memiliki arti yang sangat mendalam dan berat. Seorang laki-laki mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap istrinya, bagaimana ia membawa istrinya kepada kebaikan, menjaga istrinya dari keburukan dan yang paling berat adalah bagaimana suami dapat membawa istri ke surga-Nya.
Dia memiliki kewenangan yang luar biasa dalam menjaga kesucian dan kebaikan istrinya. Laki-laki secara fitrah diberikan keutamaan ilmu, akal, dan kuasa sehingga laki-laki juga ditugaskan mengingatkan perempuan jika salah.
Bahkan, kewajiban jihad berperang diwajibkan kepada kaum laki laki bukan perempuan. Permasalahan harta warisan juga berbeda, laki-laki mendapatkan harta yang lebih banyak, karena ia berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya.
Menurut Wahbah Zuhaili, terdapat dua faktor kepemimpinan laki-laki terhadap wanita, pertama faktor penciptaan laki-laki yang cenderung memiliki struktur tubuh, akal indra, dan komitment yang lebih kuat.
Emosinya stabil dan postur tubuhnya kuat. Kedua, laki-laki berkewajiban memberi infak kepada istri dan keluarganya, wajib membayar mahar wanita sebagai simbol penghormatan kepada perempuan.
Bagi istri yang taat, ia akan selalu patuh kepada suaminya, jika suami tidak ada di rumah maka ia mampu menjaga kehormatan dirinya, dan keluarganya serta hak hak suaminya sebagai respon atas hak hak wanita yang diberikan oleh suaminya.
Dari penjelasan tersebut, kalimat laki-laki merupakan pemimpin bagi wanita bukan merujuk pada diskriminasi perempuan dalam kekuasaan laki-laki, melainkan sebuah penghormatan dan pemuliaan wanita yang wajib dijaga dan dibimbing serta tanggung jawab yang besar yang dibebankan laki-laki karena fitrah yang diberikan kepada Allah SWT.
Sehingga kata qowwamuna bukan semena mena berkuasa kepada wanita dan berbuat sesuka hati karena telah mendapatkannya, namun lebih dari itu, seorang laki laki mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap istrinya dari mencari nafkah, membimbing, merawat dan melindungi istrinya, dan tugas wajib seorang istri adalah patuh kepada suaminya.
Namun kembali lagi bahwa perlu digaris bawahi bahwa yang dimaksud patuh terhadap suami disini adalah suami yang sholeh, jika suaminya tidak sholeh dan tidak berpegang teguh dengan agama dan bersifat dhorurah, maka diperbolehkan istri untuk menolaknya.
2 Comments
Ilma mukarramatul kubra
Alhamdulillah terimakasih atas tulisan di atas dapat menambah ilmu bagi pembacanya
Ijin bertanya
Berdasarkan pengalaman yang saya lihat dalam lingkungan sekitar saya dalam hal pengelolaan keuangan dalam rumah tangga, terdapat sebuah kasus dimana dalam sebuah rumah tangga yang bekerja hanya lah suami saja dan sang istri hanya menjadi ibu rumah tangga tanpa memiliki penghasilan sendiri ketika rumah tangga tersebut dilanda masalah sang suami berkata “itu semua aku yang menghasilkan uang tersebut kamu tidak berhak marah kepada saya”
Dikarenakan masalah seperti ini menimbulkan sebuah pemikiran jika perempuan tidak mau di injaka-injak laki laki maka perempuan harus memiliki penghasilan sendiri dengan itu perempuan tidak seutuhnya bergantung pada laki-laki.
Yang jd pertanyaan saya apakah sifat perempuan di atas dapat di golongkan ke dalam faham feminisme dan bagaimana konsep keuangan yang baik dalam rumah tangga
krisnana
Mungkin ada beberapa konsep yang harus diperhatikan
1. Sebelum menikah dan menjalin rumah tangga dengan seseorang yang sebelumnya bukan siapa” kita hendaknya mengerti dahulu makna, hak dan kewajiban sebagai perempuan dan laki-laki, karena Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan hak dan kewajiban yang berbeda, maka hendaknya kesepakatan awal atas finansial, kehidupan bersama dll. saling mengerti dan menghargai sebagai seorang suami dan istri
2. Dalam permasalahan ini seorang istri mempunyai hak untuk mengingatkan dan menasehati suami dengan kata-kata yang lembut dan bijak
3. Jika pun seorang istri bekerja, maka tidak wajib uang yang ia dapatkan diberikan kepada suami, karena hukumnya uang istri bukan uang suami, wanita boleh saja bekerja namun tidak boleh lupa akan kewajibannya.
4. Menurut saya, prasangka atas trauma istri tersebut secara pelan masuk dalam ranah feminisme, sehingga perlu pengarahan serta bimbingan agar mengubah mindset, bahwa hal tersbeut merupakan ujian rumah tangga yang selalu ada jalan keluar dalam penyelesaiannya