Mata Air

Liberalisasi Pemikiran Islam: Catatan Atas Kuliah Dr. Adian Husaini

Oleh: Suniyyah Puspita Sari
Anggota Penulis Mata Air UNIDA Gontor


Liberalisasi merupakan proses menerapkan paham liberal dalam berbagai macam kegiatan terutama dalam tatanan negara dan perekonomian. Namun saat ini, kegiatan liberalisasi telah bertransformasi enjadi paham yang meliberalkan berbagai macam bidang masyarakat, bahkan masuk kedalam ranah teologi.

 

Ide awal liberalisasi ini muncul karena adanya idea of modernity yang erat kaitannya dengan masyarakat eropa terdahulu yang menggunakan sistem teokrasi. Sistem tersebut memiliki keterwakilan seorang Tuhan di bumi yang menjadi wakil dalam mengesahkan pemerintahan di bumi.

 

Namun menurut Jean-Paul Sarte di zaman modern ini manusia seharusnya menolak Tuhan karena dianggap mencampuri kebebasan umat manusia. Singkatnya mereka ingin meniadakan Tuhan dan menghapus ajaran agama dalam kehidupannya sehari-hari.

 

Oleh karena itu muncullah sistem ekonomi, pendidikan, politik, sosial yang tidak menghendaki ajaran-ajaran agama lagi di dalamnya.[1] Paham liberal ini menjadi satu bukti bahwa Barat mengalami trauma sejarah yang mendalam terhadap ajaran agama yang dibawa gereja dan otoritas pemimpinya pada saat itu.

 

Jika ditelusuri lebih lanjut, penggunaan kata liberal pertama kali digunakan oleh yahudi dengan mazhab Yahudi liberalnya (sinagog yahudi liberal). lalu di agama Kristen, liberalisasi tersebar dengan cepat, yang menjadi momentum besarnya dapat ditilik pada tahun 2003 ketika Jean Robinson diangkat menjadi uskup homo pertama di negara bagian Amerika.

 

Bahkan Amerika menjadikan LGBT sebagai agenda politk luar negerinya untuk dapat memasifkan penyebaran paham liberal ini. pemahaman liberal yang digaungkan oleh Barat ini kemudia dipaksakan kepada umat Islam yang memiliki ketidaksesuaian historis dan ajaran yang dialami oleh Barat.

 

Hakekat Liberalisme

Dalam penyebaran pahamnya, liberalisme memiliki tiga hakikat dalam pemahamannya: Penghapusan hak Ilahi dan setiap jenis otoritas yang berasal dari Tuhan, degradasi agama dari kehidupan publik ke dalam domain pribadi hati nurani individu, pengabaian mutlak terhadap Kekristenan dan Gereja sebagai institusi publik, hukum dan sosial.[2]

 

Liberalisasi Pemikiran Islam di Indonesia

Indonesia mengalami arus liberalisasi sejak awal tahun 1970-an. Penyebaran ini dilalui melalui tiga agenda utama, yaitu: 1) liberalisasi dalam Aqidah yang dijalankan melalui pluralisme agama, 2) liberalisasi dalam bidang syariah dengan melakukan perubahan metodelogi ijtihad, 3) liberalisasi konsep wahyu melalui dekonstruksi syariah.[3]

 

  1. Liberalisasi Aqidah Islam

 

Agenda liberalisasi Aqidah Islam ini digencarkan melalui pluralisme agama. Pluralisme agama pada dasarnya dimaknai sebagai paham yang menyatakan bahwasanya Tuhan itu satu dan semua agama yang ada merupakan cara yang sah dalam menuju Tuhan yang sama itu.

 

Menurut Charles Kimball, suatu agama dikatakan ahat ketika ia mengklaim bahwasanya ajaran tersebut memiliki kebenaran yang absolut (absolute truth claim) terhadap agamanya sendiri. Meluasnya paham ini masuk ke Indonesia melalui berbagai macam tokoh dan pengasong ide-ide liberal, seperti: Ulil Abshar Abdalla, Budhy Munawar Rahman, Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, dll

 

  1. Relativisme Kebenaran

Relativisme kebenaran menjadi sebuah landasan konsep pluralisme yang hadir. Paham ini juga banyak disebarkan oleh banyak cendekiawan, salah satunya di perguruan tinggi Islam.

 

Landasan dari relativisme kebenaran ini mengarah kepada kedua pendekatan yaitu relativisme akal dan relativisme iman. Relativisme akal merujuk kepada perkataan bahwasanya manusia tidak dapat mengetahui kebenaran yang absolut namun manusia dapat mengetahui kebenaran sejauh yang absah saja.

 

Artinya ialah, kebenaran yang selama ini kita yakini merupakan sebuah kebenaran yang kita klaim secara sepihak. Relativisme teologis/relativisme iman ialah keyakinan yang mendefinisikan bahwasanya Islam hanyalah salah satu cara untuk sampai kepada kebenaran yang ada di antara jalan-jalan yang lainnya. Karena sifatnya yang sedemikian rupa, maka Islam disejajarkan dengan agama-agama lainnya.

 

  1. Liberalisasi Al-Qur’an

Dekonstruksi syariah menjadi wacana yang sangat berkembang di dalam proses liberalisasi pemikiran. Para orientalis kerap bekerja keras untuk memaparkan bahwasanya Al-Qur’an merupakan kitab yang problematik selayaknya Bible.

 

Untuk menyempurnakan proyek liberalisasi ini, mereka menyentuh ranah sakralitas Al-Qur’an. Wacana ini erat juga dengan pluralisme yang mengatakan bahwasanya semua agama yang ada di dunia ini harus berada pada posisi yang setara, sederajat, tidak boleh ada yang merasa lebih benar, besar dan tinggi.

 

Di Indonesia, arus liberalisasi sangat masif tersebar juga melalui lisan cendekiawan muslim yang ada, sebagai Taufik Adnan Amal seorang dosen Ulumul Qur’an di IAIN Makassar yang menulis makalah ‘edisi kritis Al-Qur’an’ yang menjelaskan bahwasanya perlu dilakukanya proses pemantapan teks dan bacaan Al-Qur’an.

 

Selain itu ada sebuah tesis master di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang secara gamblang menghujat kitab suci Al-Qur’an dengan sebuah buku yang berjudul ‘Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan’ dan diberi kata pengantar oleh dua orang doktor dalam bidang studi Islam dan dosen di pasca sarjana.

 

Para penganut paham liberal mengatakan bahwasanya Al-Qur’an merupakan produk budaya Arab dan bukan merupakan kitab suci, bahkan ada yang mengatakan bahwasanya Al-Qur’an merupakan rekayasa politk di zaman Utsman bin Affan sehingga tidak mengapa untuk membuat Al-Qur’an versi baru.[4]

 

Eksklusifis, Inklusifis dan Pluralitas dalam Beragama

Ketiga nama diatas merupakan tipologi dari adanya model keberagaman yang cukup sering digunakan didalam teologi mengenai agama-agama. Eksklusifis merupakan seseorang yang menganggap agamanya sebagai satu-satunya agama yang memiliki kebenaran dan menganggap agama lainnya merupakan ajaran kesesatan.

 

Inklusifis menganggap bahwasanya agama lain mengandung dimensi kebenaran, namun kebenaran dalam agamanya sendiri tetap lebih tinggi derajatnya dibandingkan agama lain. Sedangkan kaum pluralis menegaskan bahwasanya superioritas tersebut hadir karena agama-agama yang berbeda memiliki keabsahan untuk menuju keselamatan.[5]

 

Pada umumnya, ketiga pendekatan di atas cukup diterima oleh masyarakat luas. Perlu ditekankan bahwasanya tipologi di atas merupakan sesuatu yang dibuat oleh pro pluralisme sebagai model terbaik dalam membina hubungan antara umat beragama.

 

Namun lama kelamaan para ilmuwan mulai menemukan keterbatasan terhadap tipologi diatas karena tidak dapat menggambarkan kompleksitas mengenai agama-agama baik itu di Kristen maupun dalam ajaran Islam.

 

Upaya Liberalisasi Melalui Jalur Pendidikan

Prof. Snouch Hurgronje mengatakan dalam bukunya Nederland en de Islam bahwasanya pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang muslimin dari genggaman Islam. Sehingga upaya liberalisasi yang dilakukan barat juga merambah kedalam jalur pendidikan.

 

Menurut Prof. Al-Attas bahwanya akar masalah dari dunia pendidikan ialah confusion of knowledge – Loss of Adab, dan Solusi dari permasalah tersebut ialah Ta’dib atau pendidikan Islam yang benar dan mewujudkan insitusi-institusi peradaban yang menjadi tonggak bagi umat manusia.

 

Menurut Dr. Adian Husaini terdapat bentuk liberalisasi pendidikan yang paling berbahaya yang disebarkan, yaitu liberalisasi yang menyimpangkan tujuan pendidikan itu sendiri.

 

Jika pendidikan melemahkan tauhid sampai syirik di sana merupakan elemen pendidikan paling bahaya. Bahkan yakin untuk tidak percaya dengan syariat bahkan merubah syariat. Bahaya yang kedua, jika Pendidikan itu sampai mengkerdilkan potensi manusia itu sendiri.

 

Analoginya seperti anak singa yang di didik dengan standar kucing, walhasil anak singa tersebut tidak dapat mengaum layaknya singa, namun hanya dapat mengeong seperti layaknya kucing. Rasulullah juga lebih menyukai umatnya yang kuat dari pada yang lemah.

 

Secara umum dapat dipetakan bahwasanya liberalisasi pendidikan yang menjadi inti kerusakan merujuk pada tiga hal yaitu: merusak akidah, merusak orientasi hidup dan merusak potensi manusia.

 

Menurut Dr. Adian Husaini hal tersebut dapat dicegah dengan penanaman adab sebelum ilmu dan mengutamakan ilmu-ilmu fardhu ain untuk dipelajari, adapun pemilihan ilmu fardhu kifayah dengan cara memilih ilmu yang tepat yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini.

 

Kesimpulan

Liberalisasi merupakan agenda besar Barat untuk dapat merusak Islam dengan berbagai macam cara yang ada, salah satunya dengan mengkritik ajaran umat Islam dan menyebarkan gagasan pluralisme agama, agar umat perlahan-lahan meninggalkan kepercayaan dan melunturkan imannya terhadap Islam.

 

Tidak hanya itu, mereka juga mengutak atik pendidikan yang menjadi gerbang utama untuk menyuntikkan keimanan melalui ilmu pengetahuan. Sehingga umat Islam saat ini perlu sadar dan tanggap dalam menyikapi virus-virus yang menanggapi organ vital umat Islam.

[1] Satu Sorotan Kajian and others, ‘Ancaman Pemikiran Aliran Islam Liberal Kepada Umat Islam Di Nusantara: Satu Sorotan Kajian’, Sains Humanika, 3 (2015), 77–85 <https://sainshumanika.utm.my/index.php/sainshumanika/article/view/669/525>.

[2] AhmAd munAwAr IsmAIl ZAkArIA stApA ABSTRAK, ‘Liberalisme Dan Pemikiran Pemimpin Muslim Di Malaysia Liberalism and the Thoughts of Muslim Leaders in Malaysia’, Islómiyyót, 41.2 (2019), 39–49 <https://doi.org/10.17576/islamiyyat-2019-4001-05>.

[3] Adian Husaini, ‘Liberalisasi Islam Di Indonesia’, Liberalisasi Islam Di Indonesia, 1, 2001, 1–38 <https://www.academia.edu/15665374/LIBERALISASI_ISLAM_DI_INDONESIA_Oleh_Adian_Husaini>.

[4] DR. Aksin Wijaya, MENGGUGAT OTENTISITAS WAHYU.Pdf, Ccetakan 1 (Yogyakarta: Magnum Pustaka Utama, 2011) <https://repository.iainponorogo.ac.id/138/2/MENGGUGAT OTENTISITAS WAHYU.pdf>.

[5] Destriana Saraswati, ‘Pluralisme Agama Menurut Karen Armstrong’, Jurnal Filsafat, 23.3 (2013), 186–98 <https://journal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/32964/19943>.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *