ICIS,  Pendidikan

Program Kampus (Belum) Merdeka dan Kementrian Komersialisasi Pendidikan

Oleh: Krisna Wijaya

Researcher at Institute for Contemporary Islamic Studies (ICIS)

 

Indonesia, beberapa waktu belakang ini sedang dihadapkan dengan polemik permasalahan kenaikan UKT dan biaya pendidikan yang menjadi perdebatan berbagai kalangan masyarakat di seluruh Indonesia.

 

Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Tjitjik Sri Tjahjandarie dalam sebuah kesempatannya menyatakan bahwa “Pendidikan tinggi adalah tertiary education, jadi bukan wajib belajar”.

 

Maksud dari Tertiary education adalah sebuah istilah yang  dibuat oleh UNESCO untuk mengelompokkan jenis-jenis pendidikan. Ada pendidikan primer yang berarti pendidikan dasar, ada pendidikan sekunder yang berarti untuk sekolah menengah, dan terdapat pendidikan tersier yang berarti tingkatan perguruan tinggi.

 

Dilansir dari Tempo.co, pernyataan Tjitjik Sri Tjahjandarie ini menjadi problematik ketika ia mengatakan bahwa, “Tidak seluruhnya lulusan SLTA/SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Itu sifatnya pilihan.”

 

Kembali dilansir dari Tempo, Konteks pernyataan itu tentang uang kuliah tunggal di perguruan tinggi negeri yang mahal. Dengan konteks itu, Ibu Tjitjik hendak menyatakan bahwa orang miskin tak perlu kuliah karena tak bisa membayar biaya sekolah.

 

Pernyataan kontroversial yang memicu problematik juga keluar dari Menteri Nadiem Makarim bahwa UKT mahal sebagai wujud keadilan: mahasiswa kaya menyubsidi mahasiswa yang miskin.

 

Ketika Nadiem Makarim berkata demikian, mungkin pemahaman dan pembacaan terhadap UUD yang menegaskan mengenai kewajiban negara dalam menyediakan pendidikan yang layak bagi warga negara itu memiliki pandangan yang berbeda dari yang dipahami masyarakat.

 

Barangkali “negara” yang memiliki kewajiban menyediakan pendidikan itu dalam pandangan Nadiem juga termasuk unsur masyarakat di dalamnya yang harus ikut andil dalam membantu pemerintah untuk menyediakan pendidikan yang layak kembali kepada masyarakat itu sendiri.

 

Namun bagaimana pemerintah kemudian menjelaskan mengenai negara wajib membiayai pendidikan bagi semua warga negara dengan gratis yang dijelaskan dalam pasal 31 UUD 1945 amandemen mengatakan: “(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.

 

Apakah Menteri Pendidikan kita, Nadiem Makarim memandang unsur negara yang diatur oleh pemerintah ini juga termasuk di dalamnya terdapat unsur masyarakat karena Nadiem berkata bahwa mahasiswa kaya (unsur masyarakat) harus menyubsidi mahasiswa yang miskin (kembali kepada masyarakat itu sendiri).

 

Dalam kesempatan lain, anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Persatuan Pembangunan, Reni Marlinawati, mengatakan dalam undang-undang disebutkan pemerintah wajib membiayai pendidikan warga negaranya. “Sekolah gratis bukan sesuatu yang harus diminta masyarakat karena itu sudah menjadi hak.”

 

Menanggapi pernyataan Reni Marlinawati, lantas bagaimana kita masyarakat di bawah harus menanggapi pernyataan Menteri Nadiem Makarim tentang mahasiswa kaya yang membantu mahasiswa miskin? Atau menanggapi perbedaan pendapat antara para pengampu kebijakan yang ada dan berbeda sudut pandang.

 

Nampaknya amanat UUD 1945 dalam tujuan pendidikan untuk mencerdaskan semua bangsa masih menjadi PR besar untuk didiskusikan dan disamakan pendapat tidak hanya oleh kalangan masyarakat ke bawah, namun oleh para pengampu kebijakan itu sendiri.

 

Terlebih kenaikan UKT dan pengesahannya yang dinilai terlalu terburu-buru dan belum dibangun dengan konsep yang matang ini menjadi polemik bagi pemerintah kementerian pendidikan secara khusus. Banyak yang menilai bahwa pendidikan saat ini sedang dalam jalur komersialisasi besar-besaran oleh oknum di belakang layar.

 

Associate Professor in Development Studies, Western Sydney University, Assoc. Prof Zulfan Tadjoeddin pernah menyebut bahwa dunia pendidikan di Indonesia ini lebih “dark” daripada “dark” nya pendidikan di negeri Barat.

 

Dalam konteks pemikiran Peter Fleming, “dark” di sini dimaksudkan adalah dunia pendidikan menjadi pasar komoditas dan sebuah edufactory yang bertujuan untuk menggapai keuntungan besar-besaran bagi oknum-oknum tertentu.

 

Nampaknya program unggulan Kampus Merdeka pada praktik fakta di lapangannya belum benar-benar memerdekakan perguruan-perguruan tinggi di Indonesia. Kampus Merdeka itu kemudian perlahan menjelma namanya menjadi Kampus (belum) Merdeka dan membelenggu kebebasan mahasiswa-mahasiswa di Indonesia dalam menempuh proses pendidikannya.

 

Lantas, salah siapa dan apa yang harus di benahi di sini?

 

Sebagaimana yang disebut dan ditegaskan oleh UNESCO bahwa pendidikan di tataran perguruan tinggi merupakan tertiary education, maka menempuh pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi bukanlah sebuah kewajiban bagi segenap masyarakat Indonesia.

 

Adapun hal yang menjadikannya masalah juga adalah ketika masyarakat tidak memahami esensi dari proses pendidikan di perguruan tinggi yang sedang mereka tempuh dan jalani. Hal ini kemudian diperparah karena budaya kehidupan yang mengharuskan dan mewajibkan studi perguruan tinggi sebagai bagian dari syarat standar survive di dunia pekerjaan.

 

Misal menjadi admin toko harus syarat S1, menjadi sopir harus syarat S1, menjadi pekerja pabrik harus syarat S1, dll. Hal ini kemudian mendorong dan menggeser nilai dan esensi proses pendidikan di perguruan tinggi bukan sebagai tertiary education yang bersifat prestisius, namun sebagai sebuah keharusan yang ditempuh semua orang untuk mendapatkan sebuah pekerjaan.

 

Di sinilah kemudian proses pendidikan lagi-lagi berada di jalur strategis dan ditempatkan sebagai proses pencarian pekerjaan bagi sistem tata nilai kehidupan manusia yang itu sangat berpotensi terjadi praktik-praktik komersialisasi pendidikan di dalamnya.

 

Hal ini kemudian menjadikan dunia pendidikan di perguruan tinggi yang seharusnya diisi oleh orang-orang yang baik dan berkualitas menjadi diisi oleh orang-orang yang sangat plural dan majemuk tanpa ada standarisasi dalam membatasinya. Bahkan mahasiswa yang tidak niat dalam kuliah pun juga banyak dijumpai di dalamnya.

 

Inilah PR dan kompleksitas permasalahan yang ada di dunia pendidikan Indonesia. Bukan semata-mata salah dari pemerintah yang saat ini memegang amanah saja, namun hal ini adalah warisan tata nilai yang sudah diwariskan turun temurun oleh para generasi-generasi sebelumnya.

 

Padahal dilansir dari mediadakwah.id, Dr. Adian mengomentari adalah kewajiban pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Cerdas itu artinya menyiapkan dirinya untuk sukses dunia-akhirat. Dalam Gurindam-12, Raja Ali Haji mengatakan: “Di antara tanda orang berakal, di dalam dunia ia mengambil bekal!”

 

Jadi bukan semata-mata pendidikan diperguruan tinggi itu hanya ditujukan agar mahasiswa cerdas dalam survive di dunia pekerjaan setelah lulus nanti, namun konsep beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia itu juga menjadi fokus sasaran pembelajaran di perguruan tinggi.

 

“Nah, kalau PTN bersungguh-sungguh mendidik mahasiswanya menjadi manusia-manusia seperti itu, sebagaimana diperintahkan oleh UUD 1945 pasal 31 (3), maka membayar uang kuliah di kampus tersebut merupakan infaq fi-sabilillah! Orang tua harusnya gembira membayar uang kuliah, sesuai dengan kemampuannya. Jika orang tua tidak mampu, pemerintah dan masyarakat wajib membantu pembiayaan pendidikan para mahasiswa, sampai lulus,” sambung Dr. Adian Husaini.

 

Syarat pemerintah yang dibantu oleh masyarakat dalam menyukseskan pendidikan nasional bersama-sama ini adalah ketika PTN bersungguh-sungguh mendidik mahasiswanya menjadi manusia-manusia yang di samping memiliki skill sesuai kebutuhan abad modern juga beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Ketika kondisi ini terpenuhi, maka elemen masyarakat dan juga pemerintah memiliki kewajiban untuk saling bahu membahu dalam menyukseskan pendidikan nasional.

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *