Studi Qur’an Perspektif Orientalis (Studi Analisis Kritik Historis)
Oleh: Muhammad Anwar Aditya
Banyak dari Sarjana Yahudi dan Kristen dalam beberapa karya mereka dalam studi al-Qur’an (Verbum dei studies) menyatakan bahwa agama Islam dipengaruhi oleh ahama Yahudi dan Nasrani.
Karya Sarjana Barat modern yang mengawali gagasan pengaruh dengan berupaya melacak sumber-sumber al-Qur’an bermula pada 1833, dengan publikasi karya Abraham Geiger (1810- 1874), “Wat Hat Mohammed aus dem Judentume Aufgenommen (Apa yang Muhammad Pinjam dari Yahudi)?”
Dalam karya tersebut, Geiger berupaya melakukan riset ilmiah guna membuktikan adanya pengaruh Yahudi dalam al-Qur’an yang diadopsi oleh Nabi Muhammad. Karya Geiger telah memberi pengaruh yang sangat luar biasa bagi perkembangan studi Islam di Barat, mengenai polemis tentang studi al-Qur’an, khususnya “teori pengaruh“ yang dimunculkannya pada abad ke-19.
4 Hal ini senada seperti ditulis Adrew Rippin, “Komunitas ilmiah belakangan selalu menjadikan buku Geiger sebagai karya pembuka jalan dalam sejarah bidang keilmuan tersebut.” Indikasi ke arah itu terlihat beberapa orentalis pasca Geiger yang mempopulerkan gagasan teori pengaruh Yahudi dan Kristen dalam al-Qur’an.
Siegmund Fraenkel (1925), Hartwig Hirschfeld (1934), kemudian Charles Cutley Torrey (1956), tidak mau kalah dengan para sarjana Yahudi, kalangan sarjana Kristen juga melakukan kajian mengenai pengaruh al-Qur’an dari ajaran Kristen.
Di antara tokoh-tokohnya, Wright melalui karyanya Early Christianity in Arabia (1855), Louis Cheikho (1927) dengan karyanya al-Nas ra’niyyah wa adabuha bain ‘Arab al-Jahiliyyah; Julius Wellhausen, dengan judul bukunya Reste arabischen Heidentums (Sisa Paganisme Arab), Frederich Schwally, dengan karya revisi Geschiche des Qorans, (sejarah al-Qur’an) atas karya Noldeke, mengungkapkan pengaruh Kristen lebih dominan di dalam Islam.
Apa yang menyebabkan adanya kemungkinan munculnya teori pengaruh dari dua agama besar tersebut? Jika ditelaah secara garis besar, penulis mengamati bahwa ada dua hal yang melatarbelakanginya. Pertama, kebencian mereka terhadap al-Qur’an. Asumsi Orentalis dari generasi ke generasi adalah bahwa al-Qur’an bukan firman Tuhan, melainkan karangan Muhammad.
Hal ini bisa dipahami dalam sejarah konflik keagamaan yang begitu panjang, Kristen Vs Islam, yang akhirnya berujung pada kebencian sebagai akibat dari adanya Perang Salib. Konsekuensinya, ketika mereka benci terhadap agama Islam sebagai bentuk legislasi Tuhan, maka secara tidak langsung mereka juga benci terhadap kitab suci yang menjadi sumber asasinya bagi umat Islam.
Pernyataan al-Qur’an tersebut membuat kalangan Kristiani marah dan geram. Oleh sebab itu, sejak awal mereka menganggap al-Qur’an sama sekali bukan kalam Ilahi. Mereka menjadikan Bibel sebagai tolak ukur untuk menilai al-Qur’an.
Menurut penilaian mereka, jika isi al-Qur’an bertentangan dengan kandungan Bible, maka al-Qur’an yang salah. Sebabnya bagi mereka Bible adalah God’s Word, yang tidak mungkin salah dan karena al-Qur’an berani mengkritik dengan sangat tajam kata-kata Tuhan di dalam Bibel, maka al-Qur’an bersumber dari setan
Kedua, Penilaian negatif terhadap sosok Nabi. Image negative tentang Nabi Muhammad dalam kajian dan literatur sarjana Barat khususnya di Eropa, sudah mulai tersebar dan tampak pada tahun 1120.
Nama Nabi Muhammad kemudian dirubah dengan sebutan “mahomet”, atau “mahound” yang berarti sebuah ejekan untuk Nabi Muhammad, sementara “mahound” sebagaimana yang kemukakan oleh W. Monggomery Watt dalam tulisannya “Muhammad Prophet and Statesment” menyebutkan bahwa sebutan “mahound” berarti pangeran kegelapan atau nama untuk kejahatan Pastor Bede dari Inggris (673-735 M) berpendapat bahwa Muhammad adalah seorang manusia padang pasir yang liar (a wild man of desert).
Bede menggambarkan Muhammad sebagai seorang yang kasar, cinta perang dan biadab, buta huruf, status sosial yang rendah, bodoh tentang dogma Kristen, dan tamak kuasa, sehingga ia menjadi penguasa dan mengklaim sebagai seorang Nabi.
Kaitannya antara Nabi dengan wahyu, William Muir, dalamn magnum opusnya The Life of Muhammad, berpendapat bahwa apa yang disebut dengan wahyu (al-Qur’an) tidak lain hanyalah kata-kata Muhammad sendiri. Kata-kata itu dihimpun dari sekumpulan pengalaman pribadi Muhammad. Pengalaman karir publiknya, pandangan keagamaannya serta kareteristik pribadinya.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Macdonald, Muhammad merupakan seorang ahli sastra yang tidak tertandingi. Kemampuan sastranya sangat tinggi, sehingga ia mampu menciptakan karya sastra seperti al-Qur’an.
Karena itu, apa yang disebut al-Qur’an adalah produk pemikiran Muhammad. Muhammad memproduksi wahyu tidak lepas dari suasana psikologisnya yang mengalami kasus patologis. Dalam hal ini, tidak jauh beda juga dengan pandangan para orientalis sebelumnya, W. Monggomery Watt, seorang orientalis yang sangat terkenal luas dalam blantika intelektual dunia.
Ia memberikan sebuah kesimpulan bahwa al-Qur’an sebagai firman Tuhan tetapi diproduksi melalui pribadi Nabi Muhammad. Oleh karena itu, dalam analisanya, Watt cenderung melihat aspek manusiawi dalam wahyu. Itulah sebabnya mereka memandang dua hal di atas cenderung pada persamaan faktor bias subjektivitas dan jauh dari nilai-nilai kejujuran. Harus diakui bahwa jika dilihat lebih jauh, al-Qur’an dalam beberapa ayatnya banyak mengkritisi doktrin yang ada dalam agama Kristen, seperti pendapat orang orientalis berikut:
William Muir
William Muir termasuk pakar modern setelah Abraham Geiger, dan Noldeke yang telah mempopulerkan gagasan tentang teori pengaruh secara menyeluruh (Yahudi-Kristen). Gagasan Muir tentang persoalan ini banyak memberikan pengaruh khususnya bagi perkembangan kesarjaan Barat dalam menghasilkan karyakarya yang berhubungan dengannya.
Hal itu terjadi ketika tulisan Muir dalam sejumlah karyanya yang membahas tentang teori pengaruh ini muncul di permukaan. Terbukti setelah itu muncul karya Richard Bell’s yang berjudul The Origin of Islam in its Christian Environment; karya C.C. Torrey’s yang berjudul The Jewish Foundation of Islam dan karya A. I Katsh’s yang berjudul Judaism in Islam.
Muir mengatakan bahwa Muhammad mengambil ajaran ajaran yang dibawanya dari Yahudi dan Kristen. Pengambilan itu terjadi, kata Muir, melalui keterhubungannya dengan pengikut dari kedua agama tersebut ketika di Mekkah, Madinah dan Ukaz. Terlebih lagi – lanjut Muir – dalam kaitannya dengan kepergian Nabi dalam berdagang ke Syiria.
Bahkan, – masih menurut Muir – semasa kecilnya, Nabi pernah mengatakan telah melihat tempat ibadah orang-orang Yahudi di Madinah, “mendengar” ibadah mereka, serta belajar menghormati mereka sebagai manusia yang bertakwa kepada Tuhan.
Theodore Noldeke
Dengan menjadikan Bibel sebagai tolok ukur untuk menilai al-Qur’an, Noldeke berpendapat bahwa al-Qur’an merupakan hasil karangan Nabi Muhammad.40 Noldeke menyatakan bahwa sumber utama wahyu yang dibawa Muhammad bersumber dari kitab Yahudi.
Semua ajaran-ajaran al-Qur’an, misalnya, kisah-kisah para Nabi yang disebutkan dalam al-Qur’an, bahkan aturan-aturan yang dibawa oleh Muhammad mulai dari surah yang pertama secara jelas tiruan dari kitab Yahudi.
Noldeke membandingkan, menurutnya pengaruh dari ajaran yang ada dalam kitab injil terhadap al- Qur’an lebih sedikit. Untuk membuktikan risetnya, Noldeke memberikan beberapa contoh tentang teori keterpengaruhan yang diambil oleh Muhammad dari tradisi atau elemen Yahudi dan Kristen. Di antara contoh yang dikemukakan Noldeke adalah sbb;
1. Kalimat “La ilaha illa Allah”.
Kalimat Syahadat ini menurut Noldeke diadopsi Muhammad dari kitab Samoel II. 32: 22, Mazmur 18: 32.
2. Bacaan “Basmalah” sebagai ayat yang terletak di bagian depan surah.
Menurut Noldeke, kalimat ini biasa diucapkan saat akan melakukan perbuatan ibadah yang sudah dikenal dalam tradisi Yahudi dan Kristen. Dari tradisi Yahudi inilah – tegas Noldeke – Muhammad kemudian menirukan hal yang sama, terutama pada saat ia di Madinah untuk naskahundang-undang Madinah dan sebagainya.
3. Noldeke menyitir satu ayat yang dijadikannya sebagai bukti bahwa al-Qur’an diambil dari perjanjian lama, yaitu QS. al-Anbiya: 105 – yang artinya: “Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur 46 sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh.”
Selain contoh di atas, terdapat term-term dalam al-Qur’an yang juga diyakini Noldeke telah diambil dari Kristen; seperti kata furqan, sebenar nya bermakna “penebusan” (redemption), namun bagi Muhammad makna tersebut dalam bahasa Arab menjadi wahyu (revelation); demikian pula kata millah sepatutnya bermakna “kata” (word), namun di dalam al-Qur’an ia menjadi agama.
Uraian di atas memberikan sebuah deskripsi bahwa studi al-Qur’an di kalangan sarjana Barat dengan melacak sumber al-Qur’an dari dua agama besar yaitu Yahudi dan Kristen. Masing masing memiliki argumen historis untuk membuktikan bahwa nabi Muhammad betul-betul telah terpengaruh oleh ajaran dari kedua agama tersebut untuk kemudian dijadikan doktrin dalam al-Qur’an.
Dengan bukti-bukti historis dan pendekatan historis kritis yang mereka gunakan, dan sebagai kesimpulan akhir, pada intinya bagi mereka al-Qur’an tidak lagi otentik sebagaimana yang diyakini oleh umat Islam pada umumnya.