Mata Air

Dosa Adalah Urusan Pribadi?

Mari kita renungkan sejenak.

Ciri khas budaya Nusantara adalah gotong royong. Guyub rukun. Gupuh Aruh. Grapyak.

Penuh kebersamaan. Selalu aruh-aruh.

Tidak pernah terdengar slogan individualisme. Atau egoisme.

Meski beda agama sekalipun, orang di Nusantara ini sudah biasa aruh-aruh.

Monggo…

Wilujeng…

Sugeng Enjing…

Dan lain sebagainya.

 

Meski agama di Indonesia ini beragam, namun ada kesamaan.

Bukan Tuhannya yang sama.

Bukan pula cara ibadahnya.

Bukan pula ukuran dosa dan pahalanya.

Tapi pada budaya dan normanya!

Buktinya, seluruh agama di Nusantara punya ajaran yang sama: ziarah kubur.

Untuk apa? Mendoakan yang sudah mati.

Betul. Mendoakan mereka yang sudah mati. Agar dosanya diampuni. Agar amalnya diterima.

 

Lho sebentar.

Bukankah orang itu jika mati, dosanya ditanggung sendiri?

Lalu untuk apa perlu didoakan?

Apalagi dilakukan selamatan? Yasinan? 10 hari? 30 hari? 100 hari? haul?

Berarti, dosa orang tidak selalu jadi urusan pribadi masing-masing dong?

Di sini kita perlu merenungkan.

Manusia itu hidup tidak sendiri.

 

Manusia adalah makhluk yang senantiasa butuh manusia lain.

Kalau cuma ada Adam tanpa hawa, manusia lain tidak akan pernah terlahir.

Begitu pula sebaliknya.

Saat lahir, ia dibantu orang lain.

Diasuh orang lain (kan, orang tua juga ‘orang lain’) meski itu orang tua atau keluarga kita.

Sudah besar, sekolah, diajar oleh orang lain.

Sudah dewasa, dimodali usaha oleh orang lain.

Toh meskipun ‘aku usaha sendiri’ – bukankah usahanya jadi lancar karena ada yang beli?

 

Bukankah usahanya besar karena ada yang langganan?

Jadi bukan karena pintar saja.

Atau karena modal besar saja.

Apalagi karena keberuntungan.

Justru karena kebersamaan!

Karena kebaikan bersama.

Karena norma sosial Nusantara.

Saat sudah tua, akan diurus orang lain.

 

Tentu kita berharap, anak kita akan berbakti pada kita.

Bukan sebaliknya ngotot: “aku kan nggak berbakti ya biar saja, kan dosaku urusanku sendiri

Lhadalah.

Kita di Nusantara, bukan di Jepang.

Di Jepang, anak akan mendapat ‘Hak Melawan Orang Tua’ dengan alasan kebebasan.

Di Barat yang sekuler sana, kumpul kebo bukan urusan sosial.

Hanya jadi masalah kalau dilakukan di ruang publik.

Dan pelakunya didenda besar jika sampai ada kelanjutan yang merugikan.

 

Di Nusantara? Tentu bukan itu normanya.

Untuk itu, perlu ada kebajikan sosial.

Ada norma.

Agar anak-anak dan keluarga kita kelak ikut baik.

Maka benar juga dikatakan:

  • Masyarakat akan baik jika individunya baik.
  • Individu yang belum baik akan bisa membaik – jika lingkungannya baik.

Jadi, lingkungan juga perlu dijaga.

 

Meski sekarang belum ideal, ke depan masih ada harapan bisa lebih baik.

Bukankah kita semua ingin hidup damai dan masuk surga?

Belum ideal bukan berarti tidak ada jalan.

Hari ini masih maksiat belum tentu besok tidak bisa taubat.

Kalau tidak besok, ya masih ada besok lagi.

Bulan depan, semester depan, tahun depan.

Walau entah kapan, niat untuk membaik harus tetap ada.

 

Meski masih maksiat, tetap niatkan untuk taubat. Dan ibadah sebisanya.

Mungkin dengan itu, hidup kita lambat laun membaik.

Syukur-syukur, lingkungan baik akan membantu kita membaik.

Karena saat kita mati.

Pasti diurus orang lain.

Plus: didoakan orang lain.

 

Bahkan mungkin, didoakan oleh tetangga yang tidak kita suka.

Atau tidak cocok dengan kita.

Atau bukan geng atau circle kita.

Bahkan mungkin tidak pernah yasinan bersama kita.

Di NU ada tahlilan, yasinan slametan.

Apa isinya?

Mendoakan orang lain – agar dosa diampuni, dan amal diterima.

Ziarah kubur? Juga sama.

Di Muhammadiyah? Kan tidak ada itu?

Lho justru ada. Buktinya, baik NU dan Muhammadiyah sama sama mengajarkan doa.

Doa untuk keselamatan orang tua di dunia dan akhirat.

Allahummaghfir lana dzunubana wa dzunuba walidayna…

 

 

Soal teknis doanya saja yang berbeda.

NU cenderung lebih suka doa berjamaah; karena mayoritas mereka bekerja di waktu yang sama. Dan beristirahat di waktu yang sama.

Di Muhammadiyah lebih suka sendiri-sendiri. Karena kadang mereka yang di kota, punya jam kerja yang beda. Karir juga beda.

Tapi semuanya sama-sama suka sholat berjamaah. Bukankah sama?

 

Orang Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu sekalipun juga.

Mereka ada doa untuk arwah.

Bahkan, harta bendanya ikut dikubur. Agar jadi bekal dunia sana.

Ada pula upacara kematian.

Jika tidak berbakti pada orang tua, akan dapat karma.

Jika tidak baik pada sesama, akan dapat petaka.

Lust (hawa nafsu), juga dianggap dosa di Kristen.

Agama Budha punya ajaran 6 kesempurnaan. Dan itu harus dengan dukungan sosial.

Jadi, apakah dosa (masih) hanya sebatas urusan masing-masing?

Biasanya netizen pembaca lebih pintar dari penulisnya.

Monggo disimpulkan sendiri. Hehehe

 

Grand Permata, Siman, Ponorogo; Rabu 28 Agustus 2024

Muhammad Taqiyuddin – Kontributor Penulis Mata Air

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *