
Teknologi dan Problem Pendidikan Modern: Telaah Filosofis
Oleh: Ahmad Farhan Nasution
Pendahuluan
Teknologi pendidikan memainkan peran penting dalam pembelajaran saat ini, seperti E-learning, multimedia, dan kecerdasan buatan (AI), yang memudahkan guru dalam menyampaikan materi dan memungkinkan siswa belajar secara mandiri (Nabila and Amir 2022).
Teknologi ini juga mengubah cara pandang terhadapa dunia, bukan hanya sebagai alat, tetapi sebagai worldview. Menurut Heidegger, teknologi mengarahkan manusia untuk melihat segala sesuatu sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi (Liao 2023; Heidegger 1977).
McLuhan dan Ellul juga menekankan bahwa teknologi merubah cara berpikir manusia dan memiliki sistem serta logika sendiri, yang sering mengarah pada pragmatisme dan efisiensi, mengabaikan nilai-nilai lain seperti kreativitas dan hubungan antarpribadi.
Dalam pendidikan, teknologi mengubah proses, pelaku, dan tujuan, namun juga menghambat perubahan yang dinamis, seperti yang dikritik oleh Whitehead, Mumford, dan Postman. Pendidikan yang terlalu bergantung pada teknologi dapat menghilangkan nilai moral, kreativitas, dan kedalaman pemahaman (Whitehead 2010; Badeen 2023).
Teknologi sebagai worldview cenderung mengutamakan efisiensi dan kecepatan, tetapi ini bertentangan dengan pandangan hidup Islam, yang menekankan pendidikan yang tidak hanya berbasis pada ilmu pengetahuan pragmatis, melainkan juga pada nilai moral, etika, dan adab (Hidayatullah and Arif 2022). Tulisan ini bertujuan untuk mengkritik teknologisme dalam pendidikan modern dan menawarkan solusi melalui konsep ta’dib menurut al-Attas, yang lebih memperhatikan nilai-nilai pendidikan yang holistik.
Problem Pendidikan Modern
Pendidikan modern, baik di SMK maupun perguruan tinggi, fokus pada kurikulum yang menyiapkan siswa untuk bekerja sesuai bidangnya, dengan tujuan praktis-materialis, yaitu menghasilkan manfaat langsung.
Hal ini sejalan dengan pandangan John Dewey, Charles Peirce, dan William James, yang melihat pendidikan sebagai sesuatu yang harus memberikan hasil praktis (Axtelle 1968; Bhat and Neelam 2023).
Pendidikan modern juga dipengaruhi oleh teknologi yang pragmatis dan materialistis, seperti yang dijelaskan oleh Heidegger, McLuhan, dan Ellul, yang menyatakan bahwa teknologi mengarahkan masyarakat pada efisiensi dan pengabaian nilai-nilai moral serta kreativitas.
Selain itu, pendidikan modern juga bersifat sekular, di mana tujuannya adalah menciptakan masyarakat yang adil dan demokratis, seperti yang dikemukakan oleh Harvey Cox dan Paulo Freire. Teknologi pendidikan, seperti E-learning, multimedia, dan AI, memainkan peran besar dalam mendukung model pendidikan ini, dengan menyediakan akses pembelajaran yang efisien dan fleksibel (Cox 2013; Nezhad and Sadeghnia 2024).
Namun, nilai-nilai pragmatis, materialistis, dan sekular ini berpotensi mengabaikan aspek moral dan etika dalam pendidikan. Untuk itu, diperlukan konsep pendidikan Islam yang lebih holistik, seperti ta’dib, sebagai solusi untuk mengatasi masalah ini, dengan menekankan nilai-nilai moral dan adab dalam proses pembelajaran.
Makna dan Unsur Ta’dib
Konsep ta’dib menurut al-Attas berfokus pada disiplin tubuh, jiwa, dan roh, dengan tujuan untuk menyelaraskan perkembangan intelektual dan spiritual. Adab, yang berasal dari akar kata “addaba” (untuk mendidik), didefinisikan sebagai pengakuan yang sistematis terhadap pengetahuan dan perilaku, seperti yang diajarkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad. Ini melibatkan penyempurnaan moral, perilaku yang benar, dan pengakuan bahwa pengetahuan itu seperti jamuan yang memberi makan jiwa.(Al-Attas 1990)
Al-Attas mengembangkan konsep ini melalui beberapa gagasan kunci:
- Dīn (Agama): Lebih dari sekadar “agama”, dīn diartikan sebagai kekuatan pemberi kehidupan, yang disimbolkan dengan hujan yang terus-menerus memberi kehidupan. Bagi al-Attas, dīn yang sejati adalah Islam, yang membawa kehidupan bagi jiwa.
- Ilmu: Pengetahuan dipandang sebagai anugerah Ilahi, yang dicapai melalui wahyu dan usaha mental yang aktif. Ilmu adalah dasar untuk memahami kebenaran (al-haqq) dan untuk kembali pada Tuhan. Al-Attas mengkritik ilmu pengetahuan yang berkembang dari peradaban Barat, yang menurutnya tidak memiliki adab, sehingga mengarah pada hilangnya arah spiritual.
- Adil (Keadilan): Keadilan adalah penempatan segala sesuatu pada tempat yang tepat, yang memastikan keharmonisan dan keseimbangan. Kebijaksanaan adalah praktik menempatkan segala sesuatu dengan benar, dan melalui tindakan (‘amal) kebijaksanaan ini diwujudkan.
Kesimpulannya, ta’dib menekankan pengembangan manusia baik sebagai hamba Allah (yang rendah hati dan disiplin) maupun sebagai khalifah di bumi (bertanggung jawab untuk menjaga keseimbangan). Pendidikan Islam, dengan demikian, mendukung kemajuan teknologi, tetapi menekankan bahwa teknologi harus digunakan dengan benar-bukan sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan secara instan, tetapi sebagai alat untuk meningkatkan proses pembelajaran tanpa merusak nilai-nilai moral. Fokus pendidikan modern pada pragmatisme, materialisme, dan sekularisme harus diseimbangkan dengan kembalinya nilai-nilai kebijaksanaan, keadilan, dan penempatan pengetahuan yang benar.
Solusi atas Problem Pendidikan Modern
Pendidikan modern, yang sarat dengan ideologi pragmatisme, materialisme, dan sekularisme, semakin bergantung pada teknologi seperti AI, multimedia, dan media online. Teknologi ini, yang fokus pada hasil dan efisiensi, selaras dengan nilai-nilai pendidikan modern yang mengabaikan proses dan aspek moral. Hal ini bertentangan dengan nilai Islam, yang mengajarkan pendidikan sebagai jalan untuk mencapai insan kamil-manusia yang seimbang antara menghamba dan menjadi khalifah di bumi.
Konsep ta’dib yang diajukan oleh al-Attas, menekankan pada pendidikan yang kembali kepada fitrah manusia, yaitu perjanjian primordial dengan Allah (mitsaq). Fitrah ini mengarahkan manusia untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah, bukan sekadar mengikuti teknologi yang dapat membawa pada pragmatisme dan materialisme.
Oleh karena itu, pendidikan Islam yang berlandaskan ta’dib bertujuan untuk membentuk manusia yang adil, bijaksana, dan dapat menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, berbeda dengan pendidikan modern yang lebih mengutamakan efisiensi dan sekularisme (Al-Attas 1980; Faruqi and Indallah 2023).
Kesimpulan
Dari semua penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa, pendidikan modern yang telah menghilangkan ruh dalam pendidikan itu sendiri. Ditambah dengan teknologi yang semakin berkembang dengan berlandaskan nilai nilai yang serat di dalamnya yaitu pragmatisme, materialisme, efisien, dan kecepatan.
Pendidikan modern yang hanya bertujuan untuk hidup lebih baik di lingkungan masyarakat, dan standar kebenaran hanyalah kebenaran sosial. Bahkan, pendidikan modern identik dengan sekularisme, karena ukuran kesuksesannya adalah mendapatkan pekerjaan dengan pendidikan itu. Sehingga ukurannya di sini adalah materi. Maka teknologi dan pendidikan modern tidak bisa sepenuhnya diterima, karena bertentangan dengan nilai Islam.
Namun, bukan berarti Islam menolak perkembangan teknologi. Konsep ta’dib al attas menekankan pada pengenalan diri manusia yaitu kembali kepada fitrahnya atau menjadi hamba dan mengatur alam ini dengan ilmu yang benar. Sehingga teknologi tidak akan menjadi worldview seseorang ketika ia dapat menggunakannya dengan bijak.
Selain itu, tujuan dari ta’dib adalah menjadi insan kamil atau orang yang dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya yang baik. Sehingga dalam penggunaan teknologi, dapat mengetahui batasannya, sehingga tidak menggantikan eksistensi atau fitrah manusia.
Referensi
George E. Axtelle, “Pragmatism in Education,” Studies in Philosophy and Education 6, no. 1 (1968): 6–13, https://doi.org/10.1007/BF00367794; BA Bhat and N Neelam, “An Overvsiew of the Life and Philosophy of John Dewy,” Researchgate.NetBA Bhat, N Neelamresearchgate.Net, no. January 2023 (2023), https://doi.org/10.31426/ijamsr.2023.6.12.6951.
Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective (USA: Princeton University Press, 2013); Ehsan Shakuri Nezhad and Mehrab Sadeghnia, “The Theological Foundations and Requirements of Secularization in Harvey Cox ’ s View” 11, no. 22 (2024): 289–314.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Edisi ke-3 (Bandung: MIZAN, 1990).
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education In Islam, Edisi ke-2 (Kuala Lumpur: ISTAC (International Institue of Islam Thought and Civilization), 1980); Ahmad Reza Hutama Al Faruqi and Sayyid Muhammad Indallah, “Konsep Ta’dib Al-Attas Dan Relevansinya Terhadap Istac Malaysia,” 2023.

Islam dan Feminisme
You May Also Like

Konsep Holistic Education Perguruan Tinggi Islam Pesantren
December 21, 2022
Writer Ambassador, Lalu Apa?
March 18, 2023