Mata Air

Islam dan Feminisme

Oleh: Suniyyah Puspita Sari

 

Saya sempat ditanya oleh seorang Dosen Ilmu Komunikasi di salah satu Universitas di Jawa Timur yang cukup menggeluti isu feminisme. Beliau mengajukan pertanyaan yang cukup menarik, “Kenapa selalu ada dikotomi ketika kita membicarakan Islam dan Feminisme, rasanya sulit untuk menempatkan keduanya secara adil dan tidak terpisah”.

 

Saya pun menjawab sejauh yang saya mampu. Sejujurnya, kami tidak menafikan bahwa memang ada kerja-kerja feminis yang harus kami akui, salah satunya seorang feminis asal Kenya, Wangari Maathai yang seorang pendiri Green Belt Movement yang memimpin gerakan anti-deforestasi dan perlindungan alam.

 

Selain itu ada juga gerakan feminis lain yang getol dalam mengkampanyekan akses air bersih dan semacamnya. Militansi feminis dalam menjaga kelestarian alam tidak serta merta membuat kami buta dalam melihat pergerakan yang mereka lakukan. Tidak hanya menjaga alam, feminis juga getol mendorong perempuan untuk memiliki pendidikan yang tinggi, serta menjadi perempuan kuat dan berdaya.

 

Jika direnungkan sejenak, pernyataan di atas tampak ada kemiripannya sebagaiamana Islam, bagaimana seorang muslim juga diminta untuk menjadi khalifah di muka bumi ini, salah satunya dengan menjaga kelestarian alam, lalu seorang muslim diperintahkan menuntut ilmu dari buaian hingga liang lahat, tidak terkecuali Allah juga menyukai hamba-hambanya yang kuat (berdaya) dibandingkan dengan hamba-hambanya yang lemah.

 

Mungkin ketiga permisalan di atas tampak membuat kita merasa ‘wah ternyata nilai-nilai Islam sejalan dengan feminisme’. Mungkin analogi sederhana ini dapat membantu menjawab, apakah adil jika kita mengatakan bahwa seekor kera dikatakan sama dengan manusia hanya karena kera makhluk hidup, bernafas dan memakan pisang.

 

Sebagaimana manusia juga melakukan hal yang sama, tentutanya tidak. Begitu juga dengan Islam dan Feminisme, meski sekilas terlihat mirip, kita perlu melihat Islam dan Feminisme kedalam hal yang lebih fundamental.

 

Saya rasa tidak cukup adil ketika kita sebagai seorang muslimah mendukung feminis sepenuhnya hanya karena kita melihat bahwa ada sedikit kemiripan antara Islam dan feminisme, lalu kita dengan bangga mendeklarasikan diri sebagai feminis muslim.

 

Islam dan feminisme memiliki spirit yang berbeda, Islam memiliki spirit Submission to the Almighty, sedangkan spirit feminis ialah Autonomy. Jadi ketika perempuan memilih untuk berpendidikan tinggi di dalam Islam maka tujuannya bukan untuk dapat mengungguli laki-laki dan mendapatkan pengakuan manusia, melainkan spirit keimanan bahwa menuntut ilmu menjadi sebuah kewajiban bagi muslim untuk dapat memimpin diri, keluarga dan sekitarnya kearah yang lebih baik.

 

Selain itu, ketika seorang muslimah mengabdikan diri kepada suami dan keluarganya maka itu sebagai bentuk ketaatannya kepada Allah, bukan seperti pandangan feminis bahwa institusi keluarga dan pengabdian kepada suami sebagai bentuk penyuburan sistem patriarki, dan ketaatannya sebagai bentuk penindasan terhadap perempuan dan institusi keluarga tersebut harus dibubarkan karena hanya akan membelenggu perempuan.

 

Contoh lainnya ialah, ketika seorang muslimah menggunakan hijab dan menutup auratnya dengan pakaian yang syar’i apakah ia melakukannya sebagai bentuk perwujudan slogan ‘my body my choice’? tentunya tidak, seorang muslimah menutup auratnya semata-mata untuk menghormati dirinya dan melakukan perintah Tuhan berdasarkan keimanannya.

 

Hanya dari spirit saja kita bisa melihat dengan jelas perbedaan yang cukup gamblang antara Islam dan feminisme. Tujuan akhir dari feminisme ialah mendorong perempuan terjun kedalam kebebasan tak berbatas, tidak seperti Islam yang tetap memiliki batasan yang masuk akal sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah.

 

Islam tetap memberikan kebebasan terhadap perempuan dalam koridor yang wajar dan masih bisa dikomunikasikan seperti wanita berkarir, wanita berpendidikan ataupun wanita yang memiliki potensi untuk berkiprah dalam politik. Adapun yang menjadi masalah ialah ketika kebebasan ‘ekstrim’ yang dituntut oleh kalangan feminis, seperti perlu adanya pengakuan yang sah terhadap ‘transwomen’ dan kaum LGBT.

 

AllahuA’lam Bishowab

Researcher at Centre for Islamic Education and Contemporary Studies (CIECS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *