
Opini Publik dan Ilusi Netralitas Media: Tantangan Jurnalis Muslim Kontemporer
Oleh: Muhammad Ghozy Al Fatah
Pendahuluan
Publik jagat maya Indonesia pada awal 2023 lalu, dihebohkan oleh sebuah hasil riset yang dirilis oleh Microsoft melalui laporan bertajuk Digital Civility Index (DCI). Laporan tersebut menyatakan bahwa pengguna media sosial (netizen) Indonesia menempati posisi pertama sebagai netizen paling tidak sopan se Asia Tenggara.1
Data tersebut mengatakan bahwa indeks kesopanan netizen Indonesia meroket dari skala 69 pada tahun 2019, dan terus mengalami peningkatan skor hingga yang terakhir dirilis pada 2022, di angka 79. Sebuah data yang sangat mengkhawatirkan jika dilihat dari posisi Indonesia sebagai pengguna media sosial terbesar ke-empat di dunia.
Masyarakat Indonesia dengan tingkat literasi serta pendidikannya yang beragam, tentu tidak bisa disalahkan begitu saja dalam kasus ini. Di era digitalisasi informasi, publik dihadapkan dengan arus pemberitaan yang masif dan beragam dari segi perspektif.
Kemampuan digital dalam monetisasi informasi, memunculkan algoritma yaitu suatu sistem distribusi informasi yang bekerja untuk menentukan skala prioritas penyampaian informasi ke publik didsasarkan pada aspek psikologis hingga pada tingkat ekonominya. Maka tidak heran, jika sering ditemui netizen dengan berbagai tingkat emosionalnya yang beragam dan merupakan efek dari konsumsi informasi yang telah tersaring oleh sistem algoritma media.
Dalam proses pembentukan opini publik, media memiliki kuasa untuk melakukan konstruksi realitas. Idealnya, dalam proses penerimaan informasi, tentu kita mengharapkan suatu proses bermedia yang profesional, informatif, serta bebas dari motif tertentu. Hal tersebut juga banyak menghiasi tagline media-media mainstream yang ada di sekitar kita.
Namun tidak jarang kita temui isu penggiringan opini oleh media yang memanfaatkan aspek psikologis serta kondisi sosial politik masyarakat dalam membentuk realitas untuk kepentingan tertentu, bahkan tidak jarang juga nilai faktual dari sebuah informasi tidak lagi menjadi prioritas utama, melainkan engagement publik dengan media.
Maka tidak heran isu penumpukan informasi (information overload) serta berbagai dampak negatifnya, merupakan hal yang umum terjadi di tengah masyarakat. Di tengah era disrupsi informasi serta polarisasi opini publik, muncul berbagai pertanyaan, apakah media saat ini masih relevan menjadi sumber informasi yang kredibel?
Apakah nilai kebenaran bukan lagi merupakan prioritas dalam penyampaian informasi? lalu bagaimanakah posisi kita sebagai seorang jurnalis muslim yang dalam etos nya harus menjunjung tinggi profesionalisme dan kepentingan masyarakat diatas golongan?
Sebuah rumusan yang bisa memadukan antara etika seorang muslim dan dunia jurnalisme dalam hal ini, sangat dibutuhkan, atau masyarakat kita akan semakin hanyut dalam arus permainan emosional media serta algoritma tak berujung.
Media Era Post Truth dan Wacana Agenda Setting
Penemuan teknologi internet pada penghujung abad ke 20, secara drastis mengubah dinamika persebaran informasi di seluruh dunia. Globalisasi dengan janji keterhubungan (interconnectedness) serta akses tanpa batas (borderless world), memungkinkan arus informasi untuk berjalan secara masif serta up to date. Sebuah kondisi yang sangat kontras apabila dibandingkan dengan proses distribusi informasi pada abad-abad sebelumnya yang masih menggunakan kertas serta media cetak2.
Kecanggihan teknologi informasi akibat proses globalisasi bukan tanpa konsekuensi. Dengan adanya digitalisasi, laju persebaran informasi semakin deras serta memungkinkan diproduksinya informasi dengan perspektif dan konstruksi realitas yang beragam.
Media sebagai kekuatan yang memiliki otoritas dalam membangun opini publik, semakin leluasa dalam memainkan idealisme serta kepentingannya. Hal ini pun melahirkan sebuah asumsi yang menyatakan bahwa kebenaran yang ada di sekitar kita saat ini, bersifat relatif. Kondisi tersebut dikenal sebagai era “post truth”.
Media di era post truth, memandang objektivitas atau fakta dari sebuah informasi bukan lagi puncak dari kebenaran3. Kondisi ini diperparah dengan berubahnya pola pemahaman masyarakat akan berita yang tidak lagi mau mendengarkan fakta tetapi lebih kepada informasi yang mau mereka dengar saja.
Akibatnya, post truth mengacaukan cara kerja redaksi serta wacana agenda setting dalam newsroom yang akhirnya berubah menjadi orientasi pasar yang berupaya memenuhi kebutuhan informasi masyarakat.
Wacana agenda setting berangkat dari teori opini publik Walter Lippmann (1922) yang mendeskripsikan hubungan antara informasi dan realitas sebagai “the world outside and the pictures in our head”.4
Artinya, sebagian besar informasi yang diterima melalui media merupakan hasil dari realitas yang dikonstruksi sedemikian rupa. Realitas tersebut akan menetap di dalam kepala seseorang seiring dengan pengulangan ide yang sama, hingga kemudian mempengaruhi cara pandang individu dalam melihat realita.
Wacana agenda setting dalam pemaknaannya yang paling ideal, merupakan suatu cara dalam menyajikan fakta dengan konstruksi tertentu tergantung dengan idealisme yang dianut media, tentu dengan mengindahkan kaidah profesionalisme jurnalistik.
Namun seiring berjalannya waktu, terdapat intervensi kepentingan politik, ekonomi, hingga propaganda ideologis di dalamnya. Cara kerja agenda setting di tengah era post truth, dapat dilihat dari dinamika media dalam melakukan framing atas isu-isu terhangat saat ini.
Otoritas media dalam membangun konstruksi realitas bisa ditinjau dari berbagai redaksi pemberitaan seperti pemilu Indonesia dalam beberapa tahun ini, berbagai macam isu viral di dalam negeri seperti radikalisme yang terus menghiasi headline media hingga berhari-hari lamanya.
Dalam skala yang lebih global, agenda setting bermain dalam pembentukan konstruksi realitas akan isu Islamophobia yang menguat beberapa dekade terakhir dewasa ini, diikuti dengan “war on terror”, gerakan anti imigran di Amerika Serikat, serta wacana pertumbuhan ekonomi berasaskan free trade dan digitalisasi yang justru terbukti semakin memperlebar jurang kemiskinan.
Hal tersebut sekali lagi merupakan buah dari tuntutan pasar dan kepentingan yang terselubung di baliknya, salah satu contohnya adalah Fox News yang mewadahi kepentingan kaum nasionalis kanan (right wing), memiliki kontribusi yang besar dalam melakukan covering atas isu Islamophobia serta kebijakan anti imigran di tengah merebaknya sentimen anti muslim di tengah publik Amerika Serikat.5
Jurnalis Muslim: Antara Idealisme dan Realitas Media
Hadirnya era post truth serta wacana agenda setting semakin membuktikan bahwa ilusi netralitas media benar adanya. Tantangan yang dihadapi tidak hanya dari sisi dinamika media, namun juga pola pikir masyarakat yang telah berubah dalam hal memandang informasi sebagai kebutuhan.
Hal tersebut merupakan tantangan berat yang bagi jurnalis muslim yang harus menjunjung tinggi akhlak, profesionalisme, serta tuntutan kewajiban “amar ma’ruf dan nahi munkar” lewat media.
Keberpihakan terhadap objektivitas kebenaran serta kewajiban melakukan syiar Islam, merupakan idealisme yang hendaknya dimiliki oleh diri setiap individu jurnalis Muslim sebagai interpretasi dari surah Al-Hujurat ayat ke-enam yang menekankan tabayyun atas setiap informasi yang datang.6
Namun disisi lain, pemenuhan kebutuhan pasar akan informasi serta distribusi media yang berbasis algoritma serta engagement, menuntut persaingan dengan jurnalis lain yang juga memiliki idealisme tapi dalam konteks profit oriented semata.
Sebuah lingkungan atau komunitas jurnalistik yang baik merupakan dambaan seorang jurnalis muslim. Di dalamnya seorang jurnalis muslim bisa leluasa melakukan syiar serta mengangkat tinggi objektivitas dalam pemberitaan. Di sisi lain, kehadiran trend “citizen journalism” lewat berbagai platform media sosial, menjadi peluang yang cukup menjanjikan bagi jurnalis muslim.
Citizen journalism memungkinkan siapapun melakukan aktivitas jurnalistik dan terbukti ampuh sebagai alternatif dalam menghadapi hegemoni media mainstream, meskipun potensi tersebarnya hoax cukup besar.7 Namun dalam hal ini, peran seorang jurnalis muslim dengan spirit syiar sangat dibutuhkan sebelum didominasi oleh pihak lain dengan beragam kepentingannya.
Pada akhirnya, ilusi netralitas media atau yang juga dikenal sebagai bias, merupakan sebuah keniscayaan yang harus dihadapi. Dalam hal ini, jurnalis muslim hendaknya berpihak kepada objektivitas serta kepentingan umat sebagai upaya dalam melakukan syiar serta amar ma’ruf dan nahi munkar. Seorang jurnalis muslim berdarah Pakistan Britania Raya, Mehdi Hassan menegaskan lewat interviewnya bersama Al Jazeera English,8 bahwa bias terhadap objektivitas
dan kebenaran merupakan suatu prinsip yang harus dipegang oleh para jurnalis di tengah era post truth dan hegemoni media berikut agenda setting yang mereka bawa.
“Truth and fact are important, we as journalists must have a bias to the truth, reality, and objectivity. You should have that bias to protect your argument on truth and reality.”
Wallahu a’lam bishawab
Rujukan
1 Nicky Dawitri and Marsha Amara, “Indonesia’s Low Digital Civility Index-Two Sides of Indonesia,” n.d., https://doi.org/10.13140/RG.2.2.17889.58721.
2 Thomas L. Friedman, The World Is Flat: A Brief History of the Twenty One Century, 1st ed. (New York City: Straux and Giroux Publisher, 2006).
3 Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru, 1st ed. (Jakarta: Kalam Indonesia , 2005).
4 Walter Lippman, Public Opinion , 1st ed. (New York City: Free Press Publisher, 1997).
5 Nadia Saleem, Muhammad Umair Chaudhary, and Fiza Ashfaq, “Portrayal of Islam and Muslims in Western Media: A Study of Fox News,” Global Mass Communication Review VI, no. I (March 30, 2021): 108–16, https://doi.org/10.31703/gmcr.2021(vi-i).09.
6 Muzakir, Etika Jurnalis: Analisis Kritis Terhadap Pemberitaan Media, 1st ed. (Jakarta: KENCANA, 2020).
7 Rabia Noor, “Citizen Journalism vs. Mainstream Journalism: A Study on Challenges Posed by Amateurs,” Athens Journal of Mass Media and Communications 3, no. 1 (December 29, 2016): 55–76, https://doi.org/10.30958/ajmmc.3.1.4.
8 Up Front, “Mehdi Hasan on the Power of Persuasion in a Polarised World” (Qatar: Al Jazeera English, April 21, 2023), https://www.youtube.com/watch?v=Llr87UKbj4o.
You May Also Like

Ngaji Pendidikan Edisi Kurikulum Merdeka
May 10, 2024
Wonderland Indonesia di Ujung Utopia
October 4, 2022